Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Mei 2015


FADHILAH RIBATH DI JALAN ALLAH

ribath
[Dabiq #9]
Alih Bahasa: Usdul Wagha
Perintah Allah untuk Melaksanakan Ribath
{Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}. [ Ali Imran 200].
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma) berkata, “{Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu} dalam beribadah kepada Allah, {dan kuatkanlah kesabaranmu} terhadap musuh-musuh Allah, {dan tetaplah bersiap-siaga} di jalan Allah”. [Tafsir Ibnu Al-Mundzir].
Abu Ubaidah bin al-Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhuma) mengadukan tentang pertempuran melawan Romawi dan kekhawatiran terhadap mereka, maka Umar menjawab surat itu dengan menulis, “Amma ba’du, sesungguhnya tidak ada kesulitan yang menimpa seorang hamba, kecuali Allah akan memberikan kemudahan baginya setelah itu, dan tidaklah satu kesulitan akan mengalahkan dua kemudahan[1], dan Allah juga telah berfirman di dalam kitab-Nya; {Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) {dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Muwaththa` Imam Malik]
Al-Hasan Al-Bashri (rahimahullah) menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan; “Dia memerintahkan mereka agar bersabar di atas dien mereka, dan tidak meninggalkannya dan tidak meninggalkannya karena kesulitan, kemewahan, kenikmatan, atau musibah. Dia memerintahkan mereka untuk menguatkan kesabaran terhadap orang-orang kafir dan untuk melakukan Ribath terhadap musyrikīn.” [Tafsir ath-Thabari].
Zaid bin Aslam (rahimahullah) berkata; “Bersabarlah kalian di atas jihad, kuatkanlah kesabaran kalian terhadap para musuh kalian, dan lakukanlah ribath terhadap para musuh kalian” [Tafsir Ath-Thabari].
Qatadah (rahimahullah) berkata; “Maknanya adalah, bersabarlah engkau di dalam ketaatan kepada Allah, kuatkanlah kesabaranmu terhadap orang-orang yang sesat, dan lakukanlah ribath di jalan Allah { dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Tafsir Ath-Thabari]
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (rahimahullah) berkata; “{dan lakukanlah ribath} terhadap musuh-Ku dan musuh kalian hingga mereka meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam agama kalian”. [Tafsir Ath-Thabari].
Ayat di atas merupakan perintah untuk melaksanakan sebuah perintah yang dikenal dengan ribath- yaitu berjaga-jaga di garis perbatasan, ini merupakan penafsiran Umar dan Ibnu Abbas dari kalangan shahabat (radhiyallahu anhum) dan Hasan Al-Bashri, Qatadah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab dari kalangan tabi’in (rahimahumullah).
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah (radhiyallahu anhu), bahwasanya Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Maukah kalian aku tunjukkan sebuah amalan yang dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan menaikkan derajat kalian? Menyempurnakan wudhu di saata-saat yang tidak disukai (seperti air yang dingin atau ketika luka ringan), memperbanyak langkah menuju masjid (untuk shalat), dan menunggu shalat setelah shalat, dan itulah ribath,” hadits ini mirip dengan hadits yang menjelaskan bahwa jihad adaah mencurahkan kemampuan diri dalam ketaatan kepada Allah, hijrah adalah meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah, dan Islam adalah berkata yang baik dan memberi makan orang-orang miskin. Ini bukan berarti pembatasan makna ribath dengan menunggu shalat, tidak juga dengan makna seperti yang ditafsirkan oleh para ulama seperti di atas. Karena itulah, Ath-Thabary (rahimahullah) mengatakan, setelah mengutip Hadit Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) di dalam Tafsirnya; “Firman-Nya {dan lakukanlah ribath} artinya lakukanlah ribath di jalan Allah terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu dari kalangan ahlu-syirki. Menurutku, makna ribath secara bahasa berasal dari kata irtibath (mengikat) kuda dalam persiapan menghadapi musuh sebagaimana musuh mengikat kuda-kuda untuk menghadapi mereka. Kata ribath ini kemudian digunakan untuk menyebut setiap orang yang berada di garis perbatasan (tsughur) melindungi orang-orang yang ada di belakang mereka – yang berada di tempat antara dirinya dan diri mereka – dari para musuh yang menginginkan keburukan atas mereka, dan musuh memiliki kuda-kuda yang telah terikat, atau mereka berdiri di atas kaki-kaki mereka jika mereka tidak memiliki binatang tunggangan. Kita mengatakan bahwa makna {dan lakukanlah ribath}  adalah ‘lakukanlah ribath terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu’ karena makna ini adalah makna yang telah difahami dari kata ribath, dan sebuah kata semestinya digunakan dengan makna yang sudah diketahui secara umum sebagaimana digunakan oleh orang-orang, bukan dengan makna yang samar, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa kata tersebut ditujukan kepada makna lain, baik itu ayat dari Al-Quran, hadits dari Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam), atau ijma’ dari para ulama tafsir”.
Ibnu Qutaibah (rahimahullah) juga berkata; “{dan lakukanlah ribath} di jalan Allah. Makna asalnya secara bahasa adalah murabathah (ribath) adalah mengikat; di mana orang tersebut mengikat kudanya, dan kemudian salah seorang dari mereka mengikat kuda mereka di garis depan perbatasan (tsughur). Setiap mereka menyiapkan kuda untuk rekannya. Sehingga keberadaan mereka di garis perbatasan disebut ribath”. [Gharib Al-Quran].
Banyak orang juga tidak membedakan antara ribath (mempertahankan garis perbatasan) dan hirasah (tugas jaga). Seseorang mungkin disebut murabith (orang yang ribath) walau dia tidak hirasah, seperti seorang murabit yang berada di perbatasan yang tidur, makan, berlatih, berbincang, membaca atau shalat, baik sebelum atau sesudah gilirannya hirasah. Dia mungkin juga menjadi seorang murabith walau di sana dia memasak dan bersihbersih untuk para murabith lainnya, sambil tetap menunggu dan siaga untuk mempertahankan perbatasan jika ada orang-orang kafir menyerang, bahkan walau dia belum pernah mendapat giliran hirasah, karena pelayanannya dibutuhkan oleh orang lain selama di ribath, seperti yang diperintahkan oleh amirnya. Dia seorang Murabith bahkan jika gilirannya untuk hirāsah tidak kunjung datang, tidak juga datang untuk waktu yang sangat lama, atau tidak pernah datang sama sekali, selama dia tulus berkomitmen untuk melakukan hal itu jika gilirannya memang datang. Dia adalah seorang Murabithun (bentuk jamak dari murabith) bahkan jika pos perbatasan yang dia jaga dalam keadaan tenang, meskipun balasan untuk menjaga pos yang berbahaya adalah lebih besar. Dan hirāsah adalah tingkatan mulia dari Jihad yang diberikan kepadanya oleh Allah (Swt) selama dia melakukan Ribath dan itu menjadi wajib atasnya jika amirnya memerintahkan hal itu padanya. Rasulullah (sallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Dua mata tidak akan pernah disentuh oleh api Neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang terjaga karena berjaga di jalan Allah [Hasan: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas]. Alangkah mulia balasan sebuah mata yang terjaga karena menjaga kaum muslimin!
Kemuliaan satu hari di dalam ribat
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Satu hari ribath di jalan Allah adalah lebih baik dari pada dunia dan seisinya, tempat cambuk salah seorang dari kalian di surga lebih baik dari dunia dan seisinya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Ribat sehari semalam lebih baik daripada puasa & shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yg pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur). [Diriwayatkan oleh Muslim dari Salman].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Satu hari ribat di jalan Allah adalah lebih baik dari seribu hari dihabiskan untuk selain itu”. [Hadits Hasan; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dari Utsman bin Affan].
Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) berkata; “Satu hari ribath di jalan Allah lebih aku cintai dari pada shalat malam pada malam Lailatul Qadar di salah satu dari dua masjid; Masjid al-Haram dan Masjid Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) [Sunan Sa’id bin Manshur].
Hal yang bisa membantu kita memahami mengapa pahala Ribath sangat besar adalah apabila kita merenungkan bahwa orang yang beribadah kepada Allah – termasuk para ulama – tidak akan mampu melakukan amal ibadah mereka jika tidak karena para murābitīn yang menjaga pos perbatasan. Jika para murābitīn meninggalkan posisi mereka, meninggalkan mereka tanpa perlindungan, semua kota Muslim, kota, dan desa-desa akan berada di bawah ancaman untuk diserang dan digeledah orang-orang kafir. Dengan demikian, para ulama mengatakan bahwa Murabitun mendapatkan pahala dari semua Muslim yang ada di belakangnya yang beribadah kepada Allah, karena dengan Ribathnya itu memungkinkan mereka untuk fokus dalam ibadah mereka kepada Allah, sebagaimana seorang Muslim yang peduli kepada keluarga Mujahid selama ketidakhadirannya, dia akan mendapat pahala jihad seorang Mujahid. Rasulullah (sallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang fi sabilillah dengan baik maka sungguh ia telah ikut berperang.” [HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Zayd Khālid].
Kaum salaf dan empat puluh hari ribat
Salah seorang Anshar datang kepada Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhu), Umar bertanya kepadanya; “Dari mana saja engkau?” dia menjawab; “Dari melakukan ribat”, Umar bertanya lagi; “Berapa hari engkau melakukan ribat?” dia menjawab; “Tiga puluh hari”. Umar berkata kepadanya; “Kenapa engkau tidak melengkapinya dengan melakukannya selama empat puluh hari?”. [Mushannaf Abdir Razzaq].
Anak Ibnu Umar (radhiyallahu anhum) melakukan ribath selama 30 hari, lalu dia pulang, maka Ibnu Umar berkata kepadanya; “Aku tekankan engkau sebaiknya kembali dan melakukan ribath sepuluh malam lagi hingga genap menjadi empat puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah].
Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) berkata; “Ribat yang sempurna adalah selama empat puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah].
Berdasarkan atsar ini dan lainnya, ketika Imam Ahmad (rahimahullah) ditanya; “Berapa lamakah waktu terbaik utnuk ribat?” Dia menjawab; “Empat puluh hari”. Ishaq bin Rahawaih berkata; “Ini sebagaimana yang dia katakan”. [Masa`il al-Imam Ahmad wa Ishaq ibn Rahawaih]. Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa ketika seseorang hendak melakukan ribath, maka yang terbaik baginya (dan bukan hal yang wajib) untuk melakukannya setidaknya empat puluh hari atau lebih, sebelum dia kembali ke tempatnya untuk beristirahat. Ini adalah ribath menurut manhaj kaum salaf.
Kemuliaan meninggal di saat ribat
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Semua orang yang meninggal maka amalnya akan terhenti di saat dia meninggal, kecuali murabith, amalnya akan terus berkembang hingga hari kiamat, dan dia aman dari fitnah kubur”. [Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Fadalah bin Ubaid].
Hadits Nabi (shallallahu alaihi wa sallam) yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salman al-Farisi (radhiyallahu anhu) di atas telah menyebutkan; “jika dia (murabith) meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yg pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur)”.
Kematian ini adalah kematian yang paling mulia dan pahala ini telah dijamin bagi seorang Murabitun yang meninggal di saat Ribath, bahkan jika kematiannya adalah karena penyakit, usia, atau kecelakaan. Berapa banyak lagi kemuliaan apabila kematiannya adalah kesyahidan yang disebabkan oleh serangan udara dari tentara salib dan sekutu murtad mereka?
Pahala seseorang yang tetap mengalir walau orang tersebut telah meninggal, telah disebutkan di dalam hadits yang lain. “Apabila bani Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal; Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakannya”. [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah]. Pahala dari sedekahnya, ilmu, dan anaknya senantiasa mengalir selama sedekah itu masih ada, ilmu itu masih bermanfaat dan anak itu masih berdoa untuk orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini secara langsung dan dalam hadits lainnya secara tersirat, sedangkan pahala orang yang gugur ketika ribath, dia akan terus berkembang dengan sendirinya tanpa ada hubungan dengan kondisi lain, dan ini hanya bagi murabith! Pahala ini tidak disebutkan bagi orang yang mati syahid dalam pertempuran, tetapi bagi seorang murabith yang sedang menjalankan tugas ribathnya yang mungkin saja meninggal karena faktor usia atau ketika sedang tidur untuk istirahat! Maka alangkah muliah kematian ini?! Dan berapa banyak dorongan bagi seseorang untuk senantiasa berdoa agar mendapkan kematian paling mulia – syahadah –  di saat sedang ribat!
Ribat dan jihad terbaik
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma) berkata; bahwasanya Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Permulaan urusan ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian datang kekhalifahan dan rahmat, kamudian akan datang kerajaan dan rahmat, kemudian akan datang imarah dan rahmat, lalu setelah itu akan saling menggigit satu sama lain terhadap dunia sebagaimana keledai yang menggigit. Maka lakukanlah jihad, dan sesungguhya sebaik-baik jihad kalian adalah ribath, dan sebaik-sebaik ribath kalian adalah di ‘Asqalan”. [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad hasan]. ‘Asqalan adalah nama kota di Palestina.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan dengan sedikit perbedaan dalam redaksi kalimatnya (dengan penambahan dan pengurangan), baik itu sabda dari Nabi (shallallahu alaihi wa sallam) ataukah dari perkataan beberapa shahabat (radhiyallahu anhum). [Lihat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]. Wallahu a’lam. Dalam riwayat lain juga ditunjukkan bahwa ribath menjadi jihad yang terbaik setelah masa-masa penguasa muslim yang penyayang dari kalangan para khalifah, yaitu pada masa raja-raja muslim tiran, masa mereka adalah sebelum masa para pemerintah thaghut murtad ini, yang mana era ini akan berakhir dengan bangkitnya era khilafah, wallahu a’lam.
Imam Ahmad (rahimahullah) berkata, “Dalam pandanganku, tidak ada yang menyamai pahala jihad dan ribat. Ribath mempertahankan kaum muslimin dan keluarga mereka. Ini menguatkan orang-orang yang ada di pos perbatasan dan  orang-orang yang di medan pertempuran. Karena itu, ribat adalah akar dan cabang dari jihad. Jihad lebih baik dari ribath karena kesulitan dan kelalahannya… ribath yang terbaik adalah yang paling sengit”. [Al-Mughni].
Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan untuk menambah jumlah murābitīn (yang hanya dapat ditentukan oleh Imam), seseorang sebaiknya tidak lebih memilih pertempuran dari pada Ribath karena ketidaksabaran atau asumsi pribadi, dan seseorang melakukan Ribath pada umumnya dan kembali untuk itu setelah bertempur, sehingga berperang dalam medan pertempuran adalah lebih baik karena mengandung bahaya dan kesulitan. Jika tidak, seseorang harus tahu bahwa berjuang dalam pertempuran untuk menghindari Ribath adalah tidak tepat bagi seorang Mujahid sejati untuk sekedar dipertimbangkan. Hal ini dapat mencapai tingkat dosa besar jika dia diperlukan untuk ribat tapi dia enggan atau tidak mematuhi perintah pemimpin. Semakin banyak pikiran seperti ini maka akan semakin berbahaya ketika semua pos perbatasan merupakan prioritas para tentara salib dan murtad dalam usaha mereka merebut tanah Khilafah?
Petunjuk dan Rahmat Allah atas para murabithun
Sufyan bin Uyaynah (rahimahullah) berkata; “Jika engkau melihat orang-orang berselisih, maka berpeganglah kepada para mujahidin dan orang-orang yang berada di garis perbatasan (ahlu tsughur) karena Allah berfirman; {Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, sungguh Kami pasti akan memberi mereka petunjuk kepada jalan Kami} [al-Ankabut: 69]” [Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al-Qurthubi].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (rahimahumallah) juga menyandarkan perkataan ini kepada Al-Auza’I, Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad dan lainnya (rahimahumullah) [Majmu’ al-Fatawa; Madariju As-Salikin].
Setelah mengutip perkataan Ibnul-Mubarak dan Imam Ahmad ini, Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah mengatakan, “Secara umum, tinggal di perbatasan, melakukan Ribath,  dan membiasakan diri dengan Ribath adalah sesuatu yang berat. Pos perbatasan (tsughur) dihuni oleh Muslim terbaik dalam ilmu dan amal. Itu adalah tanah terbaik untuk membangun ritual Islam, realitas Iman, dan amar ma’ruf nahyi munkar. Setiap orang yang ingin mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, mengabdikan dirinya kepada-Nya, dan mencapai zuhud, ibadah, dan kesadaran terbaik, maka para ulama akan mengarahkannya ke pos perbatasan “[Jami ‘al-Masa’il].
Al-Mundziri (rahimahullah) memberikan judul di dalam kitabnya “At-Targhib wa At-Tarhib”  dengan “At-Targhib (dorongan) Bagi Orang Yang Berperang Dan Murabith Untuk Memperbanyak Amal Shalih Seperti Shalat, Puasa, Dzikir Dan Lain Sebagainya”, dia kemudian membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri (radhiyallahu anhu) di mana Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun”. Dia kemudian juga membawakan hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa amal shalih yang dilakukan di saat jihad akan dilipat gandakan pahalanya. Dia kemudian berkata; “Dan yang jelas, seorang murabith juga fi sabilillah, sehingga pahala amal shalih yang dikerjakannya juga dilipat gandakan sebagaimana amal shalih seorang mujahid dilipat gandakan”. Kesempatan untuk beramal shalih bagi murabith juga lebih banyak dibanding seorang yang sedang berperang, dia mungkin bisa shalat, puasa, membaca, mengajar, dan lain sebagainya dengan mudah, sedangkan orang yang sedang berperang tersibukkan oleh ganasnya peperangan, bahkan dalam beberapa keadaan hal ini bisa menggugurkan kewajiban berpuasa dan membolehkan mereka untuk menunda pelaksanaan shalat wajib.
Pada ayat yang disebutkan di atas (Al-Ankabut: 69) menunjukkan bahwa seseorang yang mencari ilmu ketika sedang ribat maka dia akan diberkahi dengan petunjuk Allah terhadap si hamba. Seorang murabith dapat menghafal al-Quran dan mempelajari tafsirnya, menghafal hadits dan mempelajari maknanya. Dia juga dapat mempelajari tauhid, iman, adab, zuhud, fiqh, sirah dan lain sebagainya… dan ketika dia berdoa kepada Allah agar dia diberi kemampuan untuk mempraktekkan apa yang telah dia pelajari, maka dia akan dapati bahwa do’anya dikabulkan dan petunjuk yang dia inginkan diberikan. Ribathnya – insya Allah – akan menjaga ilmunya bersemayam di dalam hati dan pengaruhnya akan dirasakan di lisan dan anggota badan. Begitu juga hadits-hadits lain yang bahwa ribathnya juga akan memperbanyak keberkahan pada amal ibadah lainnya yang dia kerjakan di saat berada di pos perbatasan (tsughur).
Ribath dan jalan menuju kesyahidan
Sejak kebangkitan jihad lebih dari tiga puluh tahun lalu, pemimpin Mujahid telah menyatakan bahwa jihad itu – pada tingkatan pribadi – terdiri dari langkah panjang menuju Syahadah (kesyahidan). Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan Hijrah ke tanah jihad (sekarang, Darul-Islām), kemudian memberikan bai’at, berjanji setia yang mengharuskan ketaatan (sam’u wa thā’ah) kepada Amir (sekarang, Khalifah) dan berkomitmen terhadap Jama’ah (sekarang, Khilafah), kemudian berlatih (i’dad) untuk tujuan jihad, lalu bersabar menghabiskan bulan-bulan Ribath, menjalani tugas jaga (hirāsah) yang tak terhitung jumlah jamnya, kemudian berperang (qital) di medan pertempuran dan membunuh (qatl) siapa saja yang dapat dia bunuh dari kalangan musuh kafir, dan akhirnya mencapai Syahadah. Jalur ini didasarkan pada teks-teks dari Qur’an dan Sunnah[2]yang menghubungkan amal ini satu sama lain, dari pengalaman yang diperoleh dengan menghidupkan jihad dari hari ke hari, dan memperhatikan para Syuhada dan kafilah mereka. Tentu saja, selalu ada pengecualian, seperti seorang Muhajir yang mencapai syahadah selama di kamp pelatihan atau Murabitun yang meraihnya pada hari pertama ribat. Tapi ini adalah peta jalan setiap Mujahid yang harus difahami demi untuk memaksimalkan buah dari jihad itu. Jika tidak, bagaimana kita bisa mengharapkan seseorang untuk bersabar di medan perang yang menakutkan sementara dia tidak mampu bertahan menghadapi kesulitan Ribat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar