Inti Dakwah Para Rasul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
PERTAMA: Kufur Kepada Thaghut
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya
kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur
terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada
setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya):
Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut” (QS. An Nahl [36]: 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman
kepada Allah adalah inti dari ajaran semua rasul dan pokok dari islam.
Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan
keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau
musyrik, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Siapa yang kufur terhadap thaghut
dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada
buhul tali yang sangat kokoh (Laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila seseorang beribadah dengan
menunaikan shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia
tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan amal
ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka
mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian
dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)
kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka
ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil.
Do’a adalah ibadah sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan
Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak
beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan
hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah” Memohon
kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan
ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang
orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati
adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum
kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, dan bila dipalingkan kepada selain Allah, maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢) لا شَرِيكَ لَهُ
“Katakanlah, Sesunggunya shalatku,
sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada
satu sekutupun bagi-Nya…” (QS. Al An’am [6]: 162-163)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)” (HR.Muslim)
Sedangkan dalam kenyataan, orang yang
membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun
rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut
dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.
Taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan
taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi
bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka menjadikan bagi Allah
satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan
binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka:
“Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami” (QS. Al An’am [6]: 136).
Jadi orang yang menganggap pembuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.
Wewenang (menentukan/membuat
hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada
Allah adalah bentuk ibadah kepada-Nya, sedangkan bila wewenang itu
disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu
bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“…(Hak) hukum itu tidak lain adalah
milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali
kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan
manusia agar tidak menyandarkan hukum, kecuali kepada Allah, dan Allah
namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila
disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik,
sebagaimana firman-Nya:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq.
Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat
kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah
orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)
Kita mengetahui dalam ajaran islam bahwa
sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram,
sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan
kepada wali-walinya (agar berkata): “Hai Muhammad, ada kambing mati
di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab,
“Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah
Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya Yang Mulia kalian
haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian,
kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada
sembelihan Allah” (HR. Hakim)
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan
untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi
aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka,
maka Allah tegaskan bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan
hal itu berarti mereka telah musyrik.
Dan dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli
ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera
Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31).
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:
– Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
– Mereka telah beribadah kepada selain Allah.
– Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
– Mereka telah musyrik
– Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di
hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan
vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”,
Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah
memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan
atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah
beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau
memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah
mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan
terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah
mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi orang Nashrani divonis musyrik
karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para
rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang
meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh
menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang
hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah
syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu
belum muslim.
Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan diatas:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah
adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka
seru selain Dia adalah bathil” (QS. Luqman [31): 30)
Juga firman-Nya Subahanahu Wa Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah
adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru
selainNya adalah yang bathil” (QS. Al Hajj [22]: 62)
2. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah
bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan
syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil,
akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan
hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang
meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih “Mashlahat
Dakwah” lalu ia masuk ke dalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak
kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai
berlabel Islam dalam rangka ikut dalam “Pesta Demokrasi”.
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26-27).
Juga firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan Laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan
syirik, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan
bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan
siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah
kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya
tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan
Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah: 1/323, & Minhajut Ta’sis: 61).
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata:
“Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para
shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak
dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik
akbar dan melepaskan diri darinya” (Ad Durar As Saniyyah: 11/545). Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” (Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid).
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata:
“Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah
maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik,
dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” (Durar As Saniyyah: 9/270).
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan Laa ilaaha ilallaah tanpa
mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen
terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka
sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat berdasarkan ijma (para
ulama)” (Kitab Taisir)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Para
‘ulama telah ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam
do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia
mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum
dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid: 76).
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya” (Syarh Ashli Dienil Islam)
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia tidak kufur terhadap thaghut.
3. Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik
akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap
thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap
syirik dalam merealisasikan tauhid kepada-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian terhadap syirik ini berbentuk realitanya yaitu tidak hadir di
majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang
yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan,
maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Dia telah menurunkan
kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat
Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama
mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena
sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan),
berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisaa’ [4]: 140)
Jadi orang yang duduk dalam majelis di
mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan
atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa
mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para
pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya kalau tidak dapat mengingkari
dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang
berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan
fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu ber-ijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” (Riwayat para penyusun As Sunan/Ashhabus Sunan) dan yang lain -yang hadir di mesjid- tidak mengingkari ucapannya seraya pergi darinya.
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
4. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, diantaranya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan orang-orang yang menjadikan
sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “kami tidak
beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan
diantara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan,
sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta
lagi sangat kafir” (QS. Az Zumar [39]: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan siapa yang menyeru ilaah yang
lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya,
maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung
orang-orang kafir itu” (QS. Al Mu’minun [23]: 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah.
Dia Subhahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:
وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan dia menjadikan
tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya
kamu tergolong penghuni neraka” (QS. Az Zumar [39]: 8)
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”, maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati” (Ad Durar As Saniyyah: 291)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang
yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran
mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam)
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam – Majmu’ah Tauhid)
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku
syirik) dan jihad di atasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam
tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhallam: 28).
Beliau berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan)
bersama-Nya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak mengagungkan
perintah-Nya, tidak meniti jalan-Nya dan tidak mengagungkan Allah dan
Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan
terhadap-Nya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para
imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam: 29)
Para imam dakwah Nejd berkata: “Di antara
hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak
mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena
sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keislaman. Siapa
yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya
serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya
orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak
membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan
para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka,
memusuhi mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan Neo Murji-ah.
Orang yang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij,
justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang
menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan
dakwah para rasul.
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa
yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah
Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia
tidak bisa membedakan antara dien para rasul dengan madzhab Khawarij,
dia telah mencampakkan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain
jalan kaum muslimin” (Mishbahuzh Zhallam: 72)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mau mengkafirkan para
pelaku syirik, pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan
justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik.
Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam
kekafiran. Tidaklah sah shalat di belakang orang yang tidak mengkafirkan
pelaku syirik akbar secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa
yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau
mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim
bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’,
maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak
diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat
bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah: 10/53).
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:
“Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau
mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka
benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik
dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama
dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang
pernah bersama kami di Dir’iyyah dan ‘Uyainah yang mana mereka murtad
dan benci akan dien ini” (Ad Durar As Saniyyah: 10/92).
5. Engkau Memusuhi Mereka (para pelakunya)
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alaihissalam. Dan para nabi yang bersamanya:
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kalian tidak mungkin mendapatkan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih
sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka
itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib
kerabatnya” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: “Sesungguhnya
orang tidak tegak keislamnnya walaupun ia mentauhidkan Allah dan
meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik…” (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’ah Tauhid: 21)
Permusuhan lawannya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/ tauhid, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) diantara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maidah [5]: 51)
Karena permusuhan ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik
itu dimanapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah
mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (QS. At Taubah [9]: 5)
Demikianlah tata cara kufur kepada thaghut…
KE DUA: Iman Kepada Allah
Adapun makna iman kepada Allah adalah:
1. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadahi
2. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah
3. Engkau menafikan ibadah itu dari selain Allah
4. Engkau mencintai lagi loyal kepada orang yang bertauhid
5. Serta engkau membenci lagi memusuhi para pelaku syirik
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilaah yang berhak diibadati
Orang yang membolehkan tumbal, sesajen,
permohonan kepada orang yang sudah meninggal atau meyakini serta
memegang sistem demokrasi berarti dia telah meyakini adanya ilaah yang
lain bersama Allah, mereka tidak beriman kepada Allah. Orang yang
menyerukan penegakan hukum thaghut atau menyerukan demokrasi, dia itu
tidak beriman kepada Allah, begitu juga orang yang menyerukan hukum
adat.
Orang yang bertauhid hanya meyakini satu sumber hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Orang yang bertauhid hanya meyakini satu Dzat yang berhak diibadati. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah ; “Dialah Allah Yang Maha Esa” (QS. Al Ikhlas [112]: 1)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ
“Janganlah engkau mengangkat dua tuhan, Dia itu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa” (QS. An Nahl [16]: 51)
Sedangkan tuhan-tuhan para ‘Ubadul Qubur
adalah banyak, yaitu orang-orang yang sudah mati yang mereka ajukan
permohonan (permintaan) kepadanya. Dan adapun tuhan-tuhan para pengusung
demokrasi adalah banyak pula, ada tuhan dari Partai A, Partai B, Partai
C dan seterusnya. Para pembuat hukum itu adalah tuhan-tuhan mereka.
2. Engkau memurnikan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan
memerintahkan ibadah kepada-Nya, akan tetapi Dia memerintahkan supaya
orang hanya ibadah kepada-Nya saja, dan tidak mempersekutukan sesuatupun
dengan-Nya dalam ibadah-ibadah tersebut, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Dan mereka tidak diperintahkan
kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh
dien (ketundukan) hanya kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan
wajahnya sepenuhnya kepada Allah sedang dia itu muhsin (mengikuti
tuntunan rasul), maka dia itu telah berpegang pada buhul tali yang
sangat kokoh (tauhid/Islam)” (QS. Luqman [31]: 22)
Menyerahkan wajah sepenuhnya kepada Allah adalah dengan cara beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ya, siapa orangnya yang menyerahkan
wajahnya sepenuhnya kepada Allah, sedang dia muhsin (berbuat kebaikan)
maka bagi dia pahala disisi Tuhannya, tidak ada rasa takut atas mereka
dan mereka itu tidaklah bersedih” (QS. Al Baqarah [2]: 112)
Syaikh ‘Abdul Lathif Ibnu ‘Abdirrahman rahimahullah berkata: “Ayat ini adalah bantahan terhadap ‘ubbadul qubur
yang menyeru selain Allah dan beristighatsah kepada selain-Nya, karena
penyerahan wajah serta ihsan dalam beramal itu tidak pada diri mereka” (Minhaj At Ta’sis)
‘Ubbadul qubur adalah
orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum, haji, dsb. Tetapi
masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih
atau wali. Maka ‘ubbadul qubur adalah kaum musyrikin.
Syaikh Ali Khudlair, di awal kitab Ath Thabaqat menyebutkan bahwa di antara golongan yang termasuk ‘ubbadul qubur adalah: “Para
penguasa thaghut, para budaknya (aparat keamanan), para pengusung
undang-undang buatan, kaum demokrat dan yang lainnya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya” (HR. Bukhari – Muslim dari Mu’adz)
Orang yang berbuat syirik, berarti dia
telah melanggar hak Allah. Jelasnya bahwa orang yang mengaku beriman
pada rukun iman, rukun Islam dan dia beribadah kepada Allah, akan tetapi
di samping itu dia membuat tumbal, sesajen, memohon kepada penghuni
kubur atau ikut serta dalam demokrasi, maka mereka itu dianggap tidak
beriman kepada Allah (dia bukan muslim).
Syaikh ‘Adurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Para ulama telah berijma, baik salaf maupun khalaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa seseorang
tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara (dia) mengosongkan diri dari
syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka,
memusuhi mereka sesuai kekuatan dan kemampuan, serta memurnikan amalan
seluruhnya bagi Allah” (Ad Durar As Saniyyah: 11/545)
Perkataan seseorang: ”Saya beriman kepada Allah dan saya bukan musyrik” tidaklah bermanfaat bila ternyata realita syirik ada padanya, oleh sebab itu Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Iman
itu bukan angan-angan dan bukan dengan hiasan, akan tetapi ia adalah
apa yang terpatri di dalam hati dan di benarkan dengan amalan”.
3. Menafikan ibadah itu dari selain Allah
Orang yang beriman kepada Allah tidak
mungkin memalingkan satu macam ibadahpun kepada selain Allah, karena
orang yang memalingkan satu saja ibadah kepada selain Allah, berarti
telah meninggalkan Islam. Oleh sebab itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir:
لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi” (QS. Al Kaafirun [109]: 2).
4. Engkau mencintai dan loyal (wala’) kepada orang yang bertauhid
Orang yang beriman kepada Allah pasti
mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid, karena mereka memiliki
ikatan persaudaran diatas dien ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan sebahagiannya adalah penolong bagi sebahagian yang lain” (QS. At Taubah [9]: 71)
Oleh sebab itu, tidak mungkin orang
mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum
muslimin karena itu bertentangan dengan wala’ (loyalitas) terhadap kaum muslimin.
5. Engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhi mereka
Allah mengatakan tentang ucapan para rasul semuanya yang harus kita ikuti:
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.
Falsafah yang mengajarkan agar tidak
membenci atau memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem
yang menyamakan semua ajaran agama adalah system syirik. Orang yang
bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah
sendiri atau anak sendiri.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
orang tidak tegak dien dan keislamannya meskipun dia mentauhidkan Allah
dan meninggalkan syirik, kecuali dengan cara memusuhi para pelaku
syirik…” (Ad Durar As Saniyyah: 8/113)
Raihlah iman dengan cara memusuhi para pelaku syirik…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar