Cari Blog Ini

Selasa, 13 Oktober 2015



[Pesan Kepada Saudari Muslimah] A JIHAD WITHOUT FIGHTING

Jihad Tanpa Perang

Oleh: Ummu Sumayyah al-Muhajirah
Alih Bahasa: Usdul Wagha
[Diterjemahkan dari artikel berjudul: “A Jihad Without Fighting” dari majalah Dabiq edisi 11]
Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, Yang memuliakan kaum muslimin dan menghinakan kaum musyrikin. Semoga shalawat dan salam tercurah selalu kepada pemimpin manusia dari awal hingga akhir, pemimpin kita; Muhammad, kepada keluarganya dan para shahabat seluruhnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka di dalam kebaikan hingga hari kiamat. Amma ba’du;
Sesungguhnya ketika Allah mewajibkan Jihad di Jalan-Nya terhadap para hamba-Nya yang laki-laki dan menjadikan di dalamnya pahala yang sangat besar yang tidak di dapati di dalam kewajiban-kewajiban lainnya, sebagian kaum wanita menjadi cemburu dan merasa iri, sehingga Ummu Salamah radhiyallahu anha bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti yang disebutkan di dalam hadits Mujahid, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki keluar untuk berperang, sedangkan kami tidak keluar untuk berperang …” maka Allah Ta’ala menurunkan; {Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.} [An-Nisa: 32] sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya.
Namun, biarpun tidak ada kewajiban jihad dan berperang atas wanita muslimah – kecuali dalam mempertahankan diri dari orang yang menyerangnya – bukan berarti telah gugur peranannya dalam membangun umat, membentuk para pria, dan mendorong mereka ke medan laga.
Karena itu, aku goreskan pena ini bagi para ukhti muslimah, istri para mujahid dan ibu bagi para anak-anak singa.
Allah berfirman, {Dan di antara mereka ada orang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”, Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya} [Al-Baqarah: 201-201].
Menurut Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu anhu, {Kebaikan di dunia} maknanya adalah “Istri yang shalihah” [Zad al-Masir].
Tsauban berkata, “Ketika turun tentang ayat emas dan perak, para shahabat bertanya; “Maka kekayaan apakah yang harus kita usahakan untuk kita miliki?” Umar berkata; “Aku akan mencari tahu untuk kalian.” Dia kemudian naik ke atas untanya dan berjalan cepat hingga mendapati beliau, sedangkan aku berada di belakangnya, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, kekayaan seperti apakah yang harus kita cari?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Hendaknya setiap dari kalian menjadikan hatinya hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan istri yang menolongnya dalam urusan akhiratnya” [Hasan: diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah].
Ayah, ibu dan diriku sendiri sebagai tebusannya, sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah dikaruniai sifat jawami’ul-kalim: “Seorang istri yang menolongnya dalam urusan akhirat.” Akhirat, hal yang paling penting, pelabuhan terakhir dan tujuan utama setiap fikiran seorang mukmin yang cerdas. Maka alangkah mengena perkataan salah satu wanita kepada suaminya tatkala dia melihatnya sedang bersedih, “Apa yang membuatmu bersedih? Apakah karena dunia sedangkan Allah telah membuatmu istirahat darinya, atau tentang akhirat, semoga Allah menambah kesedihanmu”.
Dan engkau wahai ukhti fil Islam dan istri para mujahid, suamimu adalah orang yang mana seluruh dunia hari ini sepakat untuk memeranginya. Saudariku, tahukah engkau siapa mujahid itu? Mereka adalah orang yang telah mencampakkan dunia di belakang mereka dan berjalan menuju kematian demi hidupnya umat. Dan aku rasa ketika dia datang untuk menikahimu ketika itu dia adalah seorang mujahid atau jika tidak dia adalah calon mujahid. Paling tidak engkau ketika itu tahu akidahnya dan manhajnya, dan engkau tahu jenis kehidupan apa yang akan dijalaninya. Dan jika ketika itu dia adalah orang yang qa’id (duduk-duduk tidak berjihad) dan tersesat, maka dia telah bertaubat kepada Allah, dan Allah lebih berbahagia dengan taubat seorang hamba-Nya daripada seorang laki-laki yang terbangun dari tidurnya dan mendapati untanya ada di sisinya, padahal sebelumnya dia hilang dan tersesat di tengah sahara! Lalu mengapa kita dapati ada istri para mujahid yang mengeluh dalam kehidupan mereka? Jika dia mendengar ada pertempuran yang dekat yang suaminya akan ke sana dia marah. Jika dia melihat suaminya mengenakan baju tempurnya dia gelisah. Jika suaminya keluar untuk ribat, suasana hatinya menjadi gundah. Jika suaminya pulang terlambat, dia mengeluh. Wahai saudariku, siapakah yang memperdayamu dengan mengatakan kehidupan jihad itu kehidupan yang nyaman dan menyenangkan? Tidakkah engkau mencintai jihad dan orang-orangnya? Coba dengarkanlah. Sesungguhnya engkau terhitung sedang di dalam jihad ketika engkau menanti suamimu kembali dengan penuh kesabaran dan penuh pengharapan akan pahala Allah, berdoa untuknya agar dia diberi kemenangan dan tamkien. Engkau berada di dalam jihad ketika engkau menjaga kesetiaanmu kepadanya di saat ketidak-hadirannya. Engkau berada di dalam jihad ketika engkau mengajarkan anak-anaknya antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dan yang bathil. Sungguh, engkau wahai saudariku yang tercinta, hari ini engkau adalah istri seorang mujahid, dan mungkin esok hari engkau adalah istri seorang syahid, atau istri seorang pejuang yang terluka, atau istri seorang yang berada di dalam tawanan – maka berapa banyakkah kesabaran yang telah engkau siapkan? Jika saja engkau telah mengeluh dan mengadu di saat kemudahan dan kelapangan, maka apa yang engkau akan lakukan di saat kesusahan dan musibah? Akankah engkau bersabar tatkala suamimu kembali sambil membawa darah yng mengalir? Atau jangan-jangan engkau hanya menginginkan suamimu hanya ketika dia dalam keadaan baik?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata; “Para ulama tafsir dan sejarah, juga yang lain berpendapat bahwa nabi Ayyub alaihis-salam adalah seorang yang berharta, yang memiliki banyak ragam kekayaan, termasuk binatang ternak, budak, kendaraan, tanah yang luas di negri al-Butsainah di wilayah Huran. Ibnu ‘Asakir mengisahkan bahwa dia memiliki semua itu dan memiliki banyak anak laki-laki dan keluarga. Kemudian dia terhalang dari itu semua dan mendapat cobaan di setiap tubuhnya dengan berbagai jenis penyakit hingga tidak tersisa kecuali hati dan lisannya yang berdzikir kepada Allah, dan dia tetap bersabar dan penuh pengharapan kepada Allah, selalu berdzikir kepada Allah baik siang dan malam, pagi dan petang. Sakit yang menjangkitinya berlangsung lama, hingga teman-teman meninggalkannya, dan keluarga menjauhinya, bahkan dia diusir dari kampungnya dan dilemparkan ke tempat sampah, orang-orang tidak mau lagi berhubungan dengannya, dan tidak ada satu orang pun yang mendekatinya kecuali istrinya, dia tetap menjaga hak-haknya, dan mengenal kebaikan yang pernah diberikan oleh suaminya dan kelembutannya atasnya, dia selalu mondar-mandir untuk mengurus urusan suaminya, membantu menunaikan hajatnya dan mengerjakan kemashlahatannya, hingga sang istri menjadi lemah dan habis hartannya, sampai-sampai dia harus membantu orang-orang demi mendapat upah, agar bisa memberi makan suaminya dan memenuhi kebutuhannya, semoga Allah meridhoinya dan membuatnya ridho. Dia tetap bersabar dengannya walau apapun yang terjadi dengan mereka, hilangnya harta, anak-anak, dan apa-apa yang menimpa mereka dari berbagai musibah yang menimpa suaminya, kesempitan hidup dan bantuan manusia, setelah sebelumnya penuh kebahagiaan, nikmat, khidmat, kedudukan, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un”. [al-Bidayah wan-Nihayah].
Ibnu Katsir rahimahullah kemudian berkata; “As-Suddī berkata bahwa daging Nabi Ayyub alaihis-salam berjatuhan dan tidak tersisa kecuali sedikit dan urat-uratnya, maka istrinya datang menemuinya membawa abu dan menebarkannya di bawahnya, ketika waktu semakin lama berjalan, istrinya berkata kepadanya; “Wahai Ayyub, andai engkau berdoa kepada Rabbmu tentu Dia akan menyembuhkanmu”, maka Nabi Ayyub menjawab; “Aku telah hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat, lalu mengapa aku tidak sanggup bersabar dalam waktu yang sedikit ini bagi Allah dibanding dengan tujuh puluh tahun itu?” maka istrinya tertegun dengan kata-kata itu, dia membantu orang-orang untuk mendapat upah dan memberi makan Ayyub ‘alaihis-salam. Namun kemudian orang-orang tidak mau lagi menggunakan tenaga wanita tersebut untuk membantu mereka ketika tahu bahwa dia adalah istri Ayyub karena khawatir akan terkena musibah seperti yang menimpanya atau tertular penyakit seperti yang mengenainya jika bergaul dengannya. Maka ketika istri Ayyub tidak lagi mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya maka dia pun pergi ke salah satu anak pembesar dan menjual salah satu kepangan rambutnya demi mendapatkan makanan yang baik dan banyak, lalu dia pun membawanya kepada Ayyub, maka Nabi Ayyub pun bertanya, ‘Dari mana engkau mendapatkan ini?” istrinya enggan untuk menjawab dan mengatakan, ‘Aku membantu beberapa orang’. Keesokan harinya, Istri nabi Ayyub kembali tidak mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya hingga akhirnya dia menjual kembali kepangan rambutnya yang lain demi mendapatkan makanan dan membawanya kepada Ayyub, ketika Nabi Ayyub bertanya kepadanya dia tetap mengelak hingga akhirnya nabi Ayyub bersumpah tidak akan memakan makanan itu kecuali istrinya mau memberitahukan dari mana dia mendapatkannya, maka istrinya membuka kerudung kepalanya dan terlihatlah cukuran rambutnya, maka Nabi Ayyub alaihis-salam berdoa {sungguh, aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”} [Al-Anbiya: 83]. [Al-Bidayah wan-Nihayah].
Beginilah kisah istri Nabi Ayyub, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadanya dan kepada seluruh Nabi dan kepada seluruh Rasul. Dia tetap bersabar dalam menghadapi musibah yang dialami suaminya dan tetap bertahan, tidak pernah menyerah ketika Rabbnya menguji suaminya. Maka ingatlah saudariku ukhti fid-dien, akan firman Allah Ta’ala; {Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas} [Az-Zumar: 10].
Akankah engkau tetap tegar jika suatu ketika engkau mendapat kabar bahwa suamimu tertangkap atau engkau akan segera meminta cerai? Alangkah menyedihkan, sungguh alangkah menyedihkan orang-orang kami yang tertawan. Betapa banyak manusia di dunia ini yang dihinakan oleh orang-orang terdekat mereka sebelum orang-orang terjauh, namun penghinaan dari seorang istri tetaplah yang lebih pahit dan menyakitkan. Wahai muslimah, wahai istri tawanan, hai orang yang mengaku telah mencerai dunianya sebanyak tiga kali, bayangkan dia sedang menempati ruangannya yang sempit, penjara gelap dengan fikiran yang mengembara, sebuah senyum getir tersungging di wajahnya. Mungkin dia sedang membayangkan dirimu dan anak-anaknya saat itu dan kapankah cobaan itu akan berakhir sehingga dia dapat kembali berkumpul denganmu. Kenangan dan harapan yang datang bercampur, tidak terputus kecuali oleh panggilan sipir, suaranya yang dibenci beradu dengan suara denyitan pintu yang dibukanya, “Hei Fulan, ada kunjungan bagimu”. Maka dia segera keluar, dengan napas yang memburu, dia melihatmu dari jauh hingga hatinya yang terluka pun tersenyum – dengan bayangan engkau berdua tidak sanggup berhijrah ke Daulah Islamiyyah sehingga berbaiat dari tempat kalian tinggal dan berjihad di negerimu dan tidak ada hal yang menakutkan untuk mengunjunginya – dia segara menyambutmu dan mengucapkan salam, lalu membuka kata-katanya dengan bertanya tentang keadaan dan orang-orang yang dikasihinya, lalu engkau menjawabnya dengan singkat, keadaanmu gelisah tidak seperti biasanya, suaramu keluar dengan terbata-bata, dan memang seperti itulah seharusnya… sudah seharusnya engkau menutup mukamu dan bersembunyi, bahkan sudah seharusnya engkau membayangkan bahwa bumi di bawah telapak kakimu akan terpecah dan menelanmu sebelum engkau mengucapkan kata-kata itu, yang mana engkau datang untuk mengatakannya, “Maafkan aku, tetapi aku ingin bercerai darimu, karena kesabaranku sudah habis…” Ya! Begitulah dengan singkatnya. Lalu engkau berlalu dan pergi meninggalkan lelaki yang terduduk di depanmu dengan penuh rasa terkejut dan bingung. Saudari muslimahku, apakah engkau melihat dinding itu yang memisahkan kalian berdua? Apakah engkau melihat rantai belenggu yang mengikatnya? Dan berbagai jenis siksaan yang telah dia rasakan semenjak hari pertama dia tertangkap dan setiap kepahitan yang dia minum tidak sebanding dengan keputusan angkuhmu! Kami berlindung kepada Allah dari penindasan manusia!
Aku teringat ketika salah seorang ukhti datang menemuiku untuk meminta nasihat kepadaku tentang meminta thalaq dari suaminya yang ditawan karena tekanan keluarganya kepadanya dan kepada anaknya, akan tetapi setelah beberapa hari aku mendengar bahwa sebenarnya dia tidak mampu bersabar atas ujian itu sehingga dia meminta cerai dan bahwa keluarganya tidak ada kaitannya! Dan sebagian orang mungkin berpendapat bahwa ini adalah haknya apabila dia khawatir terhadap dirinya. Maka aku katakan kepada mereka, ya ini adalah haknya, akan tetapi antara hak ini dan bersabar terdapat derajat yang tidak akan diketahui nilainya kecuali oleh mereka yang memiliki jiwa yang terbuat dari emas murni, yang tidak akan berubah ketika menghadapi musibah atau keadaan yang sulit.
Berbeda dengan ukhti yang satu ini, aku mengenal seorang istri asir (tawanan) di mana dia ibarat madrasah kesabaran, kesetiaan dan keteguhan, tinggi seperti gunung yang menjulang, yang mendidik anak-anaknya sehingga menjadi singa-singa dan beruang, dia hidup dalam kenangannya dan setia menunggu pertemuannya. Sepuluh tahun berlalu semenjak dia di dalam penjara. Ya, genap sepuluh tahun, dan dia tetap tidak goyah, aku menilainya seperti itu dan hanya Allah yang dapat menilainya. Ketika dia melihat kami, dia berkata; “Apakah engkau berdoa kepada Allah untuk Abu fulan semoga dia dibebaskan?” alangkah mulia dia dan pahalanya ada di sisi-Nya.
Saudariku muslimah, ini tentang siapa yang suaminya ditawan, maka bagaimana dengan yang suaminya terbunuh? Disebutkan di dalam “Al-Bidayah wan-Nihayah” dari Ismail ibn Muhammad ibn Sa’d ibn Abi Waqqas bahwa dia berkata; “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati seorang wanita dari Bani Dinar yang mana suaminya, saudaranya dan ayahnya terbunuh dalam perang Uhud bersama Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, ketika dia diberitahu kabar duka itu dia berkata; “Bagaimana keadaan Rasulullah?” mereka menjawab, “Beliau dalam keadaan baik, wahai Ummu fulan, beliau dalam keadaan yang engkau suka untuk melihatnya, alhamdulillah”. Dia berkata; “Tunjukkanlah beliau kepadaku sehingga aku dapat melihatnya”. Dia berkata; “Kemudian orang-orang menunjukkan beliau kepadanya, dan ketika wanita itu melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, “Seluruh musibah asal tidak menimpamu adalah ringan”. [Al-Bidayah wan Nihayah].
Di sini aku tujukan kata-kataku kepada para ukhti muhajirah, berapa sering kita mendengar saudari-saudari kita yang mana suaminya terbunuh, lalu seolah bumi yang luas ini menjadi sesak bagi mereka hingga mereka kembali berpaling ke darul-kufr, di mana keluarga dan kerabat mereka berada. Lā haula wa lā quwwata illā billāh! Aku beritahukan kepada mereka, engkau berdosa jika meninggalkan darul-Islam dan kembali ke darul-kufr. Siapa pun yang melakukan hijrah hanya demi suaminya, maka ketahuilah bahwa suaminya pasti akan mati, tanpa diragukan lagi, jika tidak hari ini maka tentu esok hari. Dan siapa saja yang melakukan hijrah karena Allah, maka ketahuilah bahwa Allah akan tetap ada, hidup selamanya, dan Dia tidak akan mati. Karena itu tetap teguhlah, wahai saudariku, semoga Allah meneguhkan kita, dan tetaplah bertahan di Islamic State dengan segenap kekuatanmu.
Berbekallah dengan ketaatan dan ibadah agar menjadi penolongmu di dalam menghadapi musibah dan kesusahan, Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Yunus alaihis-salam; {Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit} [As-Shaffat: 143-144].
Ibnu al-Jauzi berkata; “Jumhur ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah; “Jika bukan lantaran apa yang dia lakukan dahulu sebelum ditelan oleh ikan paus dari bertasbih, maka tentulah dia akan berada di perut ikan itu hingga hari kiamat. Qatadah mengatkan; “Maka tentulah perut ikan itu menjadi kuburnya hingga hari kiamat, akan tetapi dia adalah orang yang banyak shalat ketika dalam keadaan mudah, sehingga Allah menyelamatkannya lantaran hal itu”. [Zadul-Masir].
Maymun ibn Mihran berkata; “Aku mendengar ad-Dahhak ibn Qays berkata; “Ingatlah Allah di saat lapang maka Allah akan mengingatmu di saat susah. Sesungguhnya Yunus adalah hamba Allah yang shalih, mengingat Allah, sehingga ketika dia berada di dalam perut paus, Allah berfirman; {Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit} [as-Saaffat: 143-144], sedangkan Firaun adalah hamba Allah yang melampau batas dan lupa untuk ingat kepada Allah, maka ketika {Sehingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” “Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan” [Yunus: 90-91]”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya].
Adapun engkau wahai ibunda para anak singa… apakah yang engkau ketahui tentang induk para singa? Dia adalah guru bagi generasi dan pencetak para ksatria. Aku beritahukan kepadamu apa yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam; “Setiap dari kalian adalah penggembala (pemimpin), dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dia gembalakan … dan wanita adalah penggembala di dalam rumahnya dan dia akan bertanggung jawab atas gembalaannya”. Maka sudahkah engkau memahaminya, Wahai ukthi muslimah, besarnya tanggung jawab yang engkau emban? Wahai ukhti fid-dien, aku melihat umat kita ini ibarat sebuah jasad yang terdiri dari banyak bagian, tetapi bagian yang paling penting dan paling efektif dalam membesarkan generasi adalah bagian ibu yang mendidik. Karena alasan itulah, engkau membutuhkan banyak kesabaran dan kebaikan dan juga ilmu bermanfaat yang mencukupi untuk membangun generasi yang sanggup untuk mengemban amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi dan gunung-gunung.
Engkau tahu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah, dan Allah telah memberkahi Islamic State, yang tidak kikir terhadap wanita dalam menyediakan lembaga dan program pendidikan pada seluruh ilmu syari’at. Maka singkirkanlah debu kemalasan dan menunda-nunda, dan majulah, bebaskan dirimu dari kebodohan dan pelajarilah urusan agamamu. Dan Daulah kita – semoga Allah memperkuatnya – tidak menginginkan pujian dan terimakasih dari kita, tidak juga dirham dan tidak pula Dinar, semoga Allah membalas mereka atas nama kami dan atas nama kaum Muslimin dengan balasan yang terbaik.
Ukhti muslimah, sesungguhnya engkau adalah mujahidah, dan apabila senjata kaum laki-laki adalah senapan serbu dan sabuk peledak, maka ketahuilah bahwa senjata wanita adalah akhlak mulia dan ilmu. Karena engkau akan memasuki kancah pertempuran antara yang haq dan yang bathil. Karena itulah, entah ini adalah mereka dengan generasi yang rusak dalam aqidah dan manhaj – maksudku adalah musuh-musuh dien ini – atau engkau dan generasi yang melihat kemuliaan ada pada lembaran-lembaran al-Quran dan moncong senjata. Karena hal inilah, mari jadikan semangatmu adalah semangat umat, sehingga engkau melihat dari mata seluruh anak-anak singamu seorang ulama yang berilmu dalam dan seorang penakluk hebat. Bercita-citalah kepada mereka seperti cita-cita Hindun binti Utbah radhiyallahu anha kepada putranya Mu’awiyah radhiyallahu anhu; “Ketika Abu Sufyan radhiyallahu anhu melihatnya sedang merangkak dan dia berkata kepada ibunya, ‘Sesungguhnya anakku ini memiliki kepala yang besar dan dia pantas untuk menjadi pemimpin kaumnya”. Maka Hindun berkata; “Hanya kaumnya? Sungguh malangnya aku jika dia tidak memimpin seluruh bangsa Arab!” [Al-Bidayah wan-Nihayah] maka Hindun pun meraih apa yang dia cita-citakan. Mu’awiyah menjadi pemimpin seluruh bangsa Arab dengan syariat. Wahai saudariku, jadikanlah seluruh anak-anakmu sebagaimana tiga anak Afra’: Mu’adz, Mu’awwadz, dan ‘Auf radhiyallahu anhum.
Dan alangkah agung apa yang dikatakan oleh Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu anhu, pada hari di mana Ibnu Umar radhiyallahu anhuma masuk menemuinya ketika putranya; Abdullah ibn Zubair radhiyallahu anhuma disalib setelah dibunuh oleh Hajjaj, maka dia berkata padanya; “Sesungguhnya jasad ini bukanlah apa-apa, namun ruh itu berada di sisi Allah, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Maka Asma’ menjawab; “Apalah yang menghalangiku untuk bersabar, sedangkan kepala Yahya ibn Zakariya telah dihadiahkan kepada salah satu pelacur Bani Israil”. [Al-Bidayah wan-Nihayah]. Allahu Akbar. Inilah wanita-wanita umat kita, para generasi Khansa pertama.
Wahai saudariku tercinta, sesungguhnya termasuk rahmat Allah kepadamu adalah Dia telah memuliakanmu untuk tinggal di tanah Khilafah. Maka gunakanlah itu sebagai kesempatan untuk mengajari anak-anakmu semampu yang engkau bisa tentang keshalihan yang dibangun di atas tauhid yang bersih, aqidah yang benar, kufur kepada thaghut dan beribadah kepada Allah semata, ajarilah kepada mereka tazkiyatun-nufus, mengingat Allah, sirah nabawiyah, dan fiqh jihad. Dan jika para pengklaim Islam di tanah kufur membesarkan anak-anak mereka dengan cerita Cinderella dan Robin Hood, maka engkau harus menggunakan cerita dalam “Masyari’ al-Asywaq ila Masari’ al-‘Usysyāq” Ibnu an-Nahhas rahimahullah sebagai cerita untuk anak-anak singamu sebelum mereka tidur. Dan di sini terdapat lembaga syari’ah, kamp pelatihan, dan bahkan taman kanak-kanak. Semua di Daulah kita, yang diberikan oleh mereka – semoga Allah mendukungnya – berada di atas metodologi kenabian, insya Allah, dan segala pujian hanya milik Allah.
Kemudian nasihatku kepadamu wahai saudariku, yang sedang mempersiapkan anak-anak singa khilafah, bekalilah mereka dengan ilmu lalu kemudian dengan senjata, karena senjata tanpa ilmu merupakan bahaya yang sangat besar dan jika itu terjadi maka sedikit sekali kebaikan dapat diperoleh. Jadilah engkau wahai saudariku yang mulia seperti Ibunda Ummu Sufyan Ats-Tsauri, seorang imam ahli hadits, faqih, hafizh, zahid, ‘abid dan wara’, di mana ibunya; Ummu Habibah, suatu ketika berkata kepadanya; “Wahai anakku, tuntutlah ilmu maka aku akan mencukupimu dengan alat pemintal ini.” Lihatlah kepadanya, semoga Allah merahmatinya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Rabb kita. Apa yang dia minta dari putranya tidak lebih agar dia menuntu ilmu syar’i dan menguasainya, dan sang ibu akan berusaha memenuhi kebutuhan putranya dan nafkahnya lewat tenunannya. Semoga Allah memberkahi dirinya dan putranya, yang mana Abu Ishaq As-Sabi’i suatu ketika melihat Imam Sufyan Ats-Tsauri yang sedang berjalan, Abu Ishaq membaca, {Dan Kami berikan hikmah kepadanya selagi dia masih kanak-kanak} [Maryam: 12].
Sebagai penutup, aku ingatkan diriku sendiri dan juga kalian, wahai saudariku yang mulia, untuk senantiasa memperbaiki niat dan menghadirkannya di dalam seluruh amalan kita, karena siapa yang amalnya karena Allah maka dia telah sukses dan menang, dan siapa yang amalnya untuk selain Allah maka dia telah kalah dan merugi, dan akhir dari doa kami adalah “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. Semoga shalawat dan salam atas pemimpin kita, Muhammad, dan juga atas keluarga dan shahabat seluruhnya.

MAJALAH DABIQ EDISI 11 BAHASA INDONESIA

DOWNLOAD MAJALAH DABIQ EDISI 11 BAHASA INDONESIA
===================

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله لقد تمت عملية الترجمة للعدد 11 من مجلة دابق تابعة لـ

الدولة الإسلامية

الى اللغة الاندونيسية

banner

ALHAMDULILLAH TELAH SELESAI PENERJEMAHAN MAJALAH DABIQ EDISI 11 KE DALAM BAHASA INDONESIA

TERJEMAHAN KAMI TENTU BUKAN TERJEMAHAN YANG SEMPURNA, MUNGKIN AKAN DIDAPATI BANYAK KEKELIRUAN DI DALAMNYA, BAIK DARI SISI PENERJEMAHAN DAN PENULISAN, NAMUN SEMOGA ITU TIDAK MENYALAHI MAKSUD SEBENARNYA, DAN TENTU ITU BUKAN DARI KESENGAJAAN KAMI. KAMI BERHARAP SARAN DAN MASUKAN DARI IKHWAH SEMUA TERUTAMA BAGI MEREKA YANG MEMILIKI SKILL DALAM BAHASA INGGRIS
JAZAKUMULLAH KHOIR

vint1_small.jpgللتحميل اضغط هنا

DOWNLOAD KLIK:



Wahai asy-Syabab di Somalia: Si Dungu Yang Pikun Berbai’at kepada Taghut Taliban!

Wahai asy-Syabab di Somalia:
Si Dungu Yang Pikun Berbai’at kepada Taghut Taliban!

Oleh: Abu Maisarah Asy-Syami
Alih Bahasa: Usdul Wagha
Muraja’ah: Ust. Abu Sulaiman Al-Arkhabiliy
Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan kepada kita rasa cinta terhadap kejujuran dan tauhid, dan rasa benci kepada perbuatan dosa dan pembangkangan, serta memilih kita dari sekian makhluk-Nya untuk menegakkan kitab-Nya dengan pedang. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada imam al-wala` wal-bara`, yang telah berlepas diri dari para thaghut dan para sekutu, dan hanya berserah diri kepada Yang Satu, Yang Hidup dan Berdiri Sendiri, Rabb langit dan bumi. Amma ba’du;
Wahai para syabab di Somalia, siapa yang menginginkan al-Qa’idah maka sesungguhnya al-Qa’idah Ibnu Ladin telah mati, dan siapa yang menginginkan jama’ah, maka jama’ah itu akan tetap ada hingga hari kiamat, telah bersabda orang yang jujur lagi dipercaya: (Shallallahu alaihi wa sallam); “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran yang selalu menang hingga hari Kiamat.”[1]
Ya, telah meninggal Imam Usamah ibn Ladin (taqabbalahullah) tapi sebenarnya belum mati, mati dengan keluarnya ruh dari jasadnya, kemudian terbang meninggi menuju ‘illiyin, – kami menganggapnya seperti itu dan Allah sajalah yang dapat menghisabnya – adapun seruannya; maka kalimat al-khalil Ibrahim ‘alaihis salam yang telah ditampakkan oleh Imam Ibnu Ladin adalah kalimat yang baqiyah (tetap eksis) hingga hari Kiamat:
{Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali (kamu menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu).}[2]
Ya, kalimat tauhid akan senantiasa kekal namun tidak bersama tanzhim yang mengaku-aku dan terpecah belah, namun bersama kelompok yang menang dan tertolong, jama’ah kaum muslimin dan imam mereka, ahlul-atsar dan tsughur, adapun para musuh al-wala` dan bara` maka {Apakah engkau melihat ada sisa dari mereka?}[3]
Wahai para syabab di Somalia, orang dungu yang pikun (Adh Dhawahiriy, ed) telah mengumumkan bahwa dia berbaiat kepada thahgut Taliban tanpa bermusyawarah kepada kalian, dan tanpa bermusyawarah dengan para kelompok ‘Islam’, kelompok-kelompok ‘Jihad’, tanpa musyawarah saudara mereka ‘Umat’ sururiyah dan ikhwan muflisin dan murjiah jahmiah…dan bahkan tidak bermusyawarah dengan para mayoritas rafidhah dan orang-orng bodoh ‘quburiyyah’ yang diudzur karena jahl sebagaimana yang dia yakini!
Hai para syabab di Somalia, sesungguhnya harakah Thaliban adalah tha`ifah mumtani’ah yang memiliki kekuatan yang menolak dari menerapkan al-wala` wal-bara’, yang berperang demi tanah dan negara, berdamai demi tanah dan negara, thaghutnya mengumumkan bahwa kelompok ini menolak jihad baik defensif ataupun offensive selama itu keluar dari tanah ‘terjajah’ Afghanistan, dan ‘majlis syura’ nya berwala kepada para thaghut murtad di Pakistan, Qatar, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya, dan memusuhi para wali dan mujahidin di Khurasan!
Wahai syabab di Somalia, sesungguhnya Dajjal Thaliban; Akhtar Manshur telah berdusta kepada umat selama bertahun-tahun untuk mengambil keuntungan sikap nasionalisme dan pasifisme di antara para kelompok pejuang dan masyarakat awam di Khurasan dengan mengatas namakan Mula Umar! Dan dia mengutus delegasi ke pangkuan para thaghut murtad, ke Qatar, Iran dan selainnya mengatas namakan Mula Umar! Lalu diikuti kesesatan lain untuk mendekatkan antara Sunni dan Syi’ah mengatas namakan Mula Umar! Memerangi Daulah yang baru ini dengan mengatas namakan Mula Umar! Jika bukan karena Daulah Islamiyyah dan wilayahnya di Khurasan, maka tentulah Akhtar Manshur dan orang-orang yang menggantikannya akan terus melanjutkan sikap fajirnya dengan mengatas namakan Mula Umar hingga keluarnya si pecak sebelah Dajjal.
Wahai Syabab di Somalia, barangsiapa dari kalian yang akan berbai’at, maka hendaknya dia berbai’at kepada imam kaum muslimin amirul-mukminin Khalifah Ibrahim bin ‘Awwad al-Husaini (hafizhahullah), jika tidak, maka apakah salah seorang dari kalian ridho untuk berbai’at kepada thaghut Thaliban yang telah menganggap bahwa dua thaghut Qatar; Hamad dan Tamim Alu Thani sebagai saudaranya? Apakah salah seorang dari kalian ridho untuk berbai’at kepada thaghut Thaliban yang telah menganggap kaum Rafidhah Iraq, Khurasan, Persia – Iran – sebagai saudaranya? Apakah salah seorang dari kalian ridho untuk berbaiat kepada thaghut Thaliban yang telah menganggap pemerintahan thaghut dan rafidhah sebagai negara Islam dan pemimpinnya adalah saudara baginya? Atau apakah salah seorang dari kalian ridho untuk berbai’at kepada thaghut Thaliban yang akrab dengan orang-orang murtad agen dinas intelijen Pakistan (ISI) dan delegasi Qatar sementara dia menjauhi para mujahidin di jalan Allah? Bahkan thaghut Thaliban ini melakukan itu semua dan mengumumkan niatan untuk menghalangi jihad baik defensive maupun offensive kecuali untuk memerangi para Mujahid Khilafah demi meraih kursinya.
Demi Allah, tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian berbai’at kepada taghut Thaliban setelah jelas dan mutawatir keadaan mereka di penjuru ufuk, baik di kalangan Arab maupun ‘Ajam, baik di timur maupun di Barat, baik oleh Ahlus-sunnah dan Islam maupun kaum murtad dan Salibis… tidakkah malu salah seorang dari kalian jika bai’atnya ternyata kepada taghut dajjal? Jika dia tidak malu, maka sesungguhnya Daulah Islam juga tidak malu dari kebenaran, dan sungguh Daulah akan memerangi thaghut Taliban dan pengikutnya yang berbai’at kepadanya di Khurasan dan di luar Khurasan, walaupun orang-orang munafik dan murtad tidak menyukainya.
Wahai para syabab di Somalia, tidakkah kalian mendengar pemimpin kalian; si dungu yang pikun yang tidak meninggalkan satu pun kebiasaan jahiliah kecuali dia menirunya? Orang-orang jahiliah: “Mereka mengikuti hawa nafsu dan dzan (persangkaan), dan berpaling dari apa yang datang kepada mereka dari sisi Allah, mereka juga kontradiksi dalam berintisab, mereka menisbatkan diri mereka kepada nabi Ibrahim namun secara gamblang mereka meninggalkan untuk mengikutinya, tidak mengenal kebenaran kecuali yang ada bersama kelompok mereka, namun biar begitu mereka tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh kelompok mereka, dan ketika mereka meninggalkan perintah Allah untuk bersatu, dan justru melakukan apa yang Allah larang dari berpecah belah, maka mereka pun menjadi berkelompk-kelompok dan masing-masing kelompok bangga dengan apa yang ada pada mereka, mereka kemudian sangat memusuhi dien yang mereka sendiri mengaku berintisab kepadanya, lebih mencintai dien orang-orang kafir yang memusuhi mereka dan memusuhi nabi mereka dan kelompok mereka, dan mengingkari apa yang mereka tetapkan bahwa itu berasal dari dien mereka, mereka berta’ashshub kepada madzhab, dan mengaku-aku bahwa mereka telah melakukan kebenaran yang ada di sisi mereka padahal mereka dalam saat yang sama meninggalkannya, dan mereka mengharuskan orang-orang untuk ta’ashshub kepada kelompoknya, dan menolong siapa saja yang berasal dari dia baik ketika terzhalimi atau menzhalimi, dan menuduh para pengikut rasul bahwa mereka tidak memiliki keikhlasan dan hanya mencari dunia, dan lebih mengutamakan dien kaum musyrikin di atas dien kaum muslimin, dan melakukan berbagai kontradiksi yang sangat jelas ketika mereka mendustakan kebenaran”. [Diringkas dan digubah dari “Masa`il al-Jahiliyah” milik Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab – rahimahullah].
Ya, si dungu yang pikun ini telah menggabungkan antara ta’ashub dan tanaqudh (fanatisme golongan dan kontradiksi), menundukan kebenaran untuk hawa nafsunya, sehingga dia mengambil apa yang sesuai dengan hawa nafsunya dan meninggalkan apa yang tidak sesuai dengannya… dia mengaku berada di atas manhaj imam Al-Qa’idah – Usamah ibn Ladin taqabbalahullah – lalu memerangi Daulah yang telah dibela oleh Usamah ibn Ladin dan menjadikannya pintu untuk menaklukkan Baitul-Maqdis! Dia mengaku di atas manhaj Al-Qa’idah namun dia justru menolong musuh-musuh imam Al-Qa’idah dari kalangan Sururiyah, Jamiyah dan Ikhwan al-Muflisin! Dia mengaku di atas manhaj imam Al-Qa’idah namun dia lebih mengutamakan dien para Shahawat daripada dien syaikhain Az-Zarqawi dan Abu Hamzah al-Muhajir taqabbalahumallah!
Ya, si dungu yang pikun ini melakukan kontradiktif yang sangat parah… terkadang dia mengatakan bahwa Daulah Islamiyyah adalah daulah syar’iah yang independent yang tidak terkait dengan tanzhim al-Qa’idah dan Imarah Thaliban, tapi Kemudian dia mengaku bahwa itu adalah bai’at dengan bai’at imamah ‘uzhma kepadanya dan juga kepada Mula Umar yang telah meninggal beberapa tahun sebelum deklarasi khilafah! Dan terkadang dia juga mengatakan bahwa Daulah Islamiyyah adalah hasil syura yang syar’i, tapi kemudian dia mengatakan bahwa Daulah berada di atas manhaj para raja thaghut dan enggan untuk tunduk kepada mahkamah syari’at! Terkadang dia mengkafirkan shahawat dan mengumumkan bahwa mereka adalah agen para salibis, tapi kemudian dia mengatakan bahwa mereka adalah mujahidin fi sabilillah dan syuhada yang terzhalimi! Terkadang mengajak untuk kerjasama dengan Daulah dalam menghadapi salibis, Rafidhah, Bathiniah, sekuleris dan atheis, tapi kemudian mengajak kerjasama dengan para shahawat dan ulama pemerintah serta para “ikhwan” parlemen untuk melawan Daulah Islamiyyah sambil menyeru untuk berdamai dengan para Bathiniah dan Rafidhah dan tidak menargetkan Salibis di Syam! Terkadang dia menyebutkan bahwa Amirul-Mukminin adalah cucu keturunan Abul-Hasanain Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, tapi kemudian dia mengatakan bahwa beliau adalah keturunan pembunuh Ali; Ibnu Muljam!
Ya, disebabkan sifat hizbiahnya, kagum dengan pendapatnya, dan rasa cintanya kepada kepemimpinan dan kedudukan, si dungu yang pikun ini menjadi orang paling banyak dan paling bodoh sikap kontradiktifnya. Dia mengajak para mujahidin di Syam untuk bekerjasama sesama mereka untuk melawan kepala kekufuran Amerika! Tapi kemudian dia menyeru cabangnya yang dipimpin Jaulani untuk berdamai dengan pemimpin kekufuran Amerika! Dia berbai’at kepada dajjal Taliban tanpa bermusyawarah dengan satu pun cabangnya, tapi kemudian dia mengatakan bahwa Daulah tidak pernah bermusyawarah dengan siapapun dalam mengembalikan kewajiban yang telah dilalaikan di zaman ini! Bahkan dia mengaku dakwah kepada khilafah rasyidah di atas manhaj nubuwwah kemudian melakukan tuduhan buruk kepada sebagian Khulafa` ar-Rasyidin! Di mana dia menganggap bahwa berperang demi meraih kekhilafahan tanpa bermusyawarah dengan umat seluruhnya di timur dan di baratnya adalah kebiasaan dari para raja yang menggigit dan para thaghut diktator, dan ini adalah tuduhan kepada khalifah rasyidah Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu anhu.
Wahai Syabab di Somalia, hal terburuk yang dilakukan oleh pemimpin kalian adalah bahwasanya dia suatu ketika menyeru kepada “Melanjutkan revolusi penuh berkah yang berhasil mendatangkan Muhammad Mursi hingga terealisasi perubahan yang dituntut yang belum juga terealisasi hingga hari ini”. [Tauhidul-kalimah haula kalimatit-tauhid/menyatukan kalimat di sekitar kalimat tauhid]. Si dungu ini menganggap bahwa revolusi yang mendatangkan Mursi adalah revolusi yang diberkahi! Kemudian setelah beberapa lama terbukti bahwa “Arab Spring” tidaklah Islami, maka dia mengajak kepada “Islamic Spring” di dalam silsilah ceramahnya “Rasa`il al-amal wal-Bisyr li ahlina fi Mishr/risalah harapan dan kabar gembira untuk keluarga kami di Mesir]. Dia mengulang-ulang makna sesat yang sama di dalamnya tanpa ada yang baru di dalam satu episode dan lainnya dan tidak ada koreksi demi kebaikan selain dari cinta popularitas dan memperlihatkan kebatilan, orang yang mengikuti ceramahnya mungkin akan mengira bahwa si dungu ini akan mengoreksi “revolusi” Arab namun dia akan terkejut karena melihat bahwa silsilah dari bagian pertama hingga ketiga semuanya intinya adalah untuk memerangi Daulah Islamiyyah! Padahal apakah Daulah Islamiyyah telah ada di Mesir ketika Thaghut as-Sisi berhasil menundukkan thaghut Mursi? Dan apakah Daulah Islamiyyah telah ada di Libya ketika thaghut Haftar mengalahkan para thaghut di Mu’tamar Umum Nasional? Apakah Daulah Islamiyyah telah ada di Tunisia ketika para thahgut dari Hizbu Nahdhah dikeluarkan dari pemerintahan thaghut? Atau apakah karena Zhawahiri adalah orang yang mengikuti hawa nafsu dan hizbiyah, yang dengki kepada Daulah Islamiyyah lantaran apa yang dikaruniakan Allah kepadanya? Bisa jadi dia menangisi para Ikhwan “muflisin” dan para thaghut mereka yang kehilangan kursi pasca “Apa yang Terjadi Setelah Revolusi”. Pemerintahan yang Zhawahiri perintahkan untuk damai dengannya? Zhawahiri bersikap damai dengan para thaghut ikhwan “al-mufilisin” secara militer dan membagus-baguskannya secara inforasi… tapi terhadap Daulah Islamiyyah, maka bala tentara si tua dungu ini memeranginya di Syam, Khurasan, Libya dan negara-negara lainnya!
Wahai Syabab di Somalia, apakah kalian ridha untuk tetap menjadi cabang dari sebuah “tanzhim” yang tidak peduli kepada cabangnya kecuali agar berwala kepada para thaghut murtad dan memerangi Mujahidin khilafah? Dan inilah dia cabangnya di Aljazair yang rela untuk bergabung dengan “Harakah al-Wathaniyah li Tahriri Azwad” (gerakan Nasional untuk membebaskan Azwad), menutup mata terhadap kemurtadan mereka dan justru mengingkari para muwahidin yang menegakkan syariat di Mali, kemudian memerangi Daulah di Derna dengan koalisi yang terdiri dari kelompok-kelompok “jihad” yang masuk kedalam sistem Demokrasi Libya, seperti “Jama’ah Muqatilah Libya” dan Katibah “Syuhada Abu Salim” dan lain sebagainya dari kelompok-kelompok yang ikut andil dalam “Pemerintahan sementara thaghut Fajar Libya”. Adapun cabangnya di Yaman maka dia menyerahkan wilayah yang telah “dimerdekakan” kepada orang-orang murtad tentara, pemerintah dan partai “al-Ishlah” yang belum bertaubat dari kemurtadan dan yang ikut berkumpul di dalam “Dewan Nasional al-Hadhrami” dan berwala kepada mereka melawan muwahidin. Adapun cabangnya yang di Suriah mereka berwala kepada Free Syrian Army (FSA) dan front-front nasional agen para thaghut – bahkan si pengkhianat Al-Jaulani sendiri dan muridnya Abu Faras as-Suri telah menyaksikan bahwa sekutu-sekutunya ini adalah para agen thaghut – ya, meskipun serangan udara Salibis membela para shahawat, Jabhah Jaulani tetap bersekutu dengan para shahawat dalam perang melawan Daulah Islamiyyah! Adapun cabangnya di India dan Khurasan, mereka seperti binatang ternak di hadapan para thaghut Thaliban, yang bisa dikurbankan untuk menekan para thahgut dan salibis dalam rangka menyuksesan kepentingan nasional bersama kaum murtad Afghan!
Adapun jika kalian hanya menjawab dengan sikap diam, maka diam kalian ada ridha kalian, tidak ada sikap netral dan abu-abu, karena kaum muwahhidun tidak akan ridho sebelum malhamah dengan kelompok abu-abu yang
كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ؛ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً
(“Perumpamaannya seperti seekor kambing yang bingung di antara dua kelompok kambing, terkadang dia ikut yang ini dan terkadang ikut yang itu, dia tidak tahu yang mana yang akan diikuti”[4]) dia juga tidak ridha dengan kelompok mudzabdzab {Tidak ikut kepada mereka dan tidak juga ikut kepada mereka}[5], tidak akan ridho dengan kelompok munafiqin yang menjadi fitnah bagi muwahhidin dan berkompromi dengan murtaddin…
Maka pilihlah oleh kalian tsugur kubu mana yang akan kalian diami, karena sesungguhnya medan perang Dabiq lebih dekat kepada kalian daripada tali sandal kalian, sehingga setelah itu apakah kalian akan menjadi bala tentara ruh Allah dan kalimat-Nya (Isa laihis-salam) atau menjadi bala tentara si pecak Dajjal…
Dan janganlah kalian lupa bahwa amir kalian yang telah pergi Abu Zubair berkata sebagaimana perkataan Amirul-Mukminin Abu Umar Al-Husaini Al-Baghdadi taqabbalahullah dan sebagaimana yang dikatakan oleh khalifah Ibrahim Al-Qurasyi dan Syaikhul-Mujahid Al-‘Adnani hafizhahumallah: “Sesungguhnya Daulah Islam itu baqiyah!”
Ditulis oleh:
Abu Maisarah asy-Syami – Ghafarahullah
Selesai diterjemahkan oleh: Usdul Wagha, 9 Oktober 2015 M
Muraja’ah: Ust. Abu Sulaiman Al-Arkhabily

Sabtu, 30 Mei 2015

Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan

Standard
Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan
Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan
Oleh : Syaikh Dr Abdullah Azzam – Rahimahullah
Sebelum berjihad kamu harus membekali diri dengan dua sifat: lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir. Oleh karena jihad membutuhkan kekerasan dan kekuatan, berlaku keras dalam membela Dien dan merasa gagah karena Allah merupakan sifat perwira, dan dalam waktu yang sama bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin.
Keadaan kita sekarang ini justru sebaliknya. Penguasa-penguasa thaghut (yang mengaku muslim) di negeri kita malah berlaku lemah lembut kepada orang-orang kafir dan bersikap keras terhadap orang-orang mukmin. Demikian pula yang diperbuat oleh sesama orang mukmin dan sesama orang Islam. Orang Islam berlaku keras terhadap saudaranya sesama Islam, dan sebaliknya bersikap ramah kepada orang-orang kafir…mengucapkan salam seraya membungkukkan badan, menundukkan kepala atau mengangguk-angguk di hadapannya…Engkau mulia wahai orang Islam! Jangan berlaku demikian kepada orang kafir!
Ustadz Muhammad Abdurrahman Khalifah, pimpinan sebuah Harakah Islamiyah di Yordania –semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Pernah suatu kali beliau berhadapan dengan Raja Abdullah di Masjid Al Husaini, yang menjadi salah satu pemimpin saat jatuhnya wilayah Lydda dan Ramla tahun 1948 ke tangan Yahudi. Waktu kejadian itu beliau masih sangat muda usianya, sekitar 22 atau 23 tahun. Itu merupakan peristiwa besar dalam permulaan hidupnya, akan tetapi beliau sudah belajar tentang arti kemuliaan dari Sang Hakim ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Suatu ketika Imam Masjid memberikan ceramah dan memberikan alasan untuk pembenaran atas penyerahan wilayah Lydda dan Ramla serta jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Mendengar ceramah Imam, beliau tak dapat menahan diri, lantas keluarlah beliau dari barisan jama’ah Shalat dan segera mengambil alih mikrofon; lalu beliau berkata dengan lantang: “Cukup sudah bagimu makan potongan roti dari mereka (penguasa), mestinya tuan mengatakan kepada orang itu –seraya menunjuk kepada Raja Abdullah–: “Bagaimana Tuan bisa menyerahkan wilayah Lydda dan Ramla ke tangan Yahudi?”, (sedangkan) anda adalah pewaris para Nabi…!”.
Maka mulailah beliau berceramah yang kontan membuat gusar Raja Abdullah, yang segera bangkit dari duduknya dan berteriak: “Hai orang-orang! Lelaki ini adalah seorang munafik yang hendak memfitnah antaraku dengan kalian”, lalu keluar dari masjid karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, sedangkan Ustadz Muhammad tetap berceramah. Kemudian datanglah Kepala Polisi Ibukota mendekati Ustadz Muhammad dan menaruh tangan di pundak beliau seraya berkata: “Demi Allah, hei Abu Majid (panggilan Ustadz Muhammad), aku mendapat perintah, jika sampai terjadi sesuatu, maka kami akan memuntahkan peluru di masjid ini”. Ketika Kepala Polisi tersebut menaruh tangannya di pundak Abu Majid, kebetulan seorang penjual daging yang rumahnya berdampingan dengan masjid berada di dekatnya, maka dia berkata dengan nada mengancam kepada Kepala Polisi: “Demi Allah, kalau sampai kamu menyentuhnya, aku benar-benar akan memenggal kepalamu, maka jangan kamu mencela dirimu sendiri”. Dan memang, penjual daging itu benar-benar mengancam Kepala Polisi tersebut.
Abu Majid berkata: “Dengarlah, sekarang bawa saja aku ke istana dan serahkan pada tuanmu, untuk menghindari terjadinya pembantaian di sini”.
Kepala Polisi itu berkata: “Aku berjanji, tak akan ada seorangpun yang akan menyakitimu”.
Abu Majid menimpali: “Demi Allah, jika sampai ada yang menyakitiku, maka dunia akan bergoyang dan tidak akan tinggal diam”.
Lalu Kepala Polisi itu membawa beliau dengan mobil ke istana.
Sesampainya di pintu istana beliau berkata; “Turunkan aku disini, aku tidak mau masuk menemui raja”. Setelah Kepala Polisi melapor kepada Raja bahwa Abu Majid tidak mau masuk menemuinya, maka Raja keluar ke balkon istana dan melongok ke halaman bawah seraya berkata: “Bahkan sampai di istanapun engkau tidak mau masuk, hei munafik! Allah akan membinasakanku kalau sampai aku tidak membunuhmu!”. Lalu pelayan istana buru-buru membawakan kursi untuk Raja, maka Abu Majid berkata kepada Raja: “Orang-orang munafik itu justru ada di sekelilingmu”.
Saat itu bulan Ramadhan, tanpa disangka-sangka saudaranya –seorang Kepala Wilayah Salath– datang menyerahkan uang 100 Dinar – 1 Dinar nilainya setara dengan satu orang manusia pada saat itu—seraya berkata: “Hei Abu Majid, jangan engkau merasa sedih…!”. Namun Abu Majid menolak pemberian itu dan hanya meminta dibawakan makanan untuk buka puasa untuk dirinya dan 13 orang sipir penjara yang menjaganya. Maka pergilah saudaranya membeli makanan; waktu itu tidak ada warung makan kecuali di dekat Masjid Al Husaini yang letaknya cukup jauh dari istana sedang untuk ke sana tidak ada mobil tumpangan. Sesampainya di sebuah warung makan, dia membeli makanan yang diperlukan dan ketika pemilik warung tahu bahwa makanan itu untuk Ustadz Muhammad maka dia tidak mau dibayar dan orang banyak berebut untuk mengantarkan makanan tersebut kepada Abu Majid.
Singkatnya Ustadz Muhammad diajatuhi hukuman pengasingan ke Shahrawi. Dalam perjalanan ke tempat pengasingan, beliau meminta berhenti di suatu pasar untuk membeli baju tidur dan ketika pemilik toko tahu bahwa yang membeli dagangannya adalah Ustadz Muhammad, diapun tidak mau dibayar.
Dua hari penuh Raja memendam kemarahan, darahnya menggelegak dan hampir-hampir biji matanya keluar lantaran marah. Para pelayan dan orang-orang di sekelilingnya hanya tertunduk diam, seolah-olah di atas kepala mereka bertengger seekor burung. Raja terus berpikir dan merenung, akhirnya dia berkata kepada para pembantunya: “Dia itu seorang pemuda yang sangat menaruh kepedulian terhadap kemaslahatan negerinya, dia telah berbicara menumpahkan perasaan hatinya. Padahal sepatutnya ucapan itu aku dengar dari kalian”. Lalu salah seorang pembantunya berkata: “Demi Allah wahai Yang Mulia Raja, saya mengenal pemuda tersebut, karena saya pernah bekerja bersamanya di jawatan pengadilan; dia orang yang terhormat dan bersih…”. Raja berkata kepadanya: “Pergilah dan temui dia, kalau dia mau meminta maaf, aku akan membebaskannya!”. Maka pergilah utusan Raja menemui Ustadz Muhammad di tempat pembuangannya untuk menyampaikan perintah Raja. Mendengar tawaran Raja, beliau menolak seraya berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meminta maaf!”. Maka beliaupun tetap berada dalam penjara sampai beberapa waktu.
Demikianlah, jihad membutuhkan kegagahan, kekerasan sikap dan sekaligus kelemahlembutan. Bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah-lembut kepada orang mukmin. Ibadah jihad adalah ibadah jama’i, engkau tidak dapat berjihad sendirian, harus bersama sekelompok manusia dan hidup (berinteraksi) bersama mereka; sekelompok manusia yang berbeda-beda kebiasaan, watak, cara makan, cara tidur dan sebagainya…
Kamu harus bisa menutup mata, menutup telinga dan menutup mulut terhadap sesuatu yang kamu tidak suka atasnya dan tidak mencari-cari aib dan tidak melihat kepada saudaramu kecuali hal-hal yang baik-baik saja. Jika tidak begitu, maka kamu tidak akan sanggup melanjutkan jihad.
Inilah jihad! Kamu harus dapat menggabungkan keempat sifat itu menjadi satu sehingga kamu menjadi seorang mujahid, yaitu:
– Berlaku lemah-lembut kepada orang-orang mukmin
– Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
– Tidak takut celaan orang yang mencela
– Di jalan Allah.
Ini adalah karunia Allah, dan jihad adalah karunia dari Allah (Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya).
Dia memilih sekelompok manusia untuk Dia bebankan kepada mereka tugas membawa risalah-Nya dan untuk menyebarkan Dien-Nya dengan pengorbanan darah mereka, (dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui).

FADHILAH RIBATH DI JALAN ALLAH

ribath
[Dabiq #9]
Alih Bahasa: Usdul Wagha
Perintah Allah untuk Melaksanakan Ribath
{Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}. [ Ali Imran 200].
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma) berkata, “{Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu} dalam beribadah kepada Allah, {dan kuatkanlah kesabaranmu} terhadap musuh-musuh Allah, {dan tetaplah bersiap-siaga} di jalan Allah”. [Tafsir Ibnu Al-Mundzir].
Abu Ubaidah bin al-Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhuma) mengadukan tentang pertempuran melawan Romawi dan kekhawatiran terhadap mereka, maka Umar menjawab surat itu dengan menulis, “Amma ba’du, sesungguhnya tidak ada kesulitan yang menimpa seorang hamba, kecuali Allah akan memberikan kemudahan baginya setelah itu, dan tidaklah satu kesulitan akan mengalahkan dua kemudahan[1], dan Allah juga telah berfirman di dalam kitab-Nya; {Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) {dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Muwaththa` Imam Malik]
Al-Hasan Al-Bashri (rahimahullah) menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan; “Dia memerintahkan mereka agar bersabar di atas dien mereka, dan tidak meninggalkannya dan tidak meninggalkannya karena kesulitan, kemewahan, kenikmatan, atau musibah. Dia memerintahkan mereka untuk menguatkan kesabaran terhadap orang-orang kafir dan untuk melakukan Ribath terhadap musyrikīn.” [Tafsir ath-Thabari].
Zaid bin Aslam (rahimahullah) berkata; “Bersabarlah kalian di atas jihad, kuatkanlah kesabaran kalian terhadap para musuh kalian, dan lakukanlah ribath terhadap para musuh kalian” [Tafsir Ath-Thabari].
Qatadah (rahimahullah) berkata; “Maknanya adalah, bersabarlah engkau di dalam ketaatan kepada Allah, kuatkanlah kesabaranmu terhadap orang-orang yang sesat, dan lakukanlah ribath di jalan Allah { dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Tafsir Ath-Thabari]
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (rahimahullah) berkata; “{dan lakukanlah ribath} terhadap musuh-Ku dan musuh kalian hingga mereka meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam agama kalian”. [Tafsir Ath-Thabari].
Ayat di atas merupakan perintah untuk melaksanakan sebuah perintah yang dikenal dengan ribath- yaitu berjaga-jaga di garis perbatasan, ini merupakan penafsiran Umar dan Ibnu Abbas dari kalangan shahabat (radhiyallahu anhum) dan Hasan Al-Bashri, Qatadah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Ka’ab dari kalangan tabi’in (rahimahumullah).
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah (radhiyallahu anhu), bahwasanya Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Maukah kalian aku tunjukkan sebuah amalan yang dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan menaikkan derajat kalian? Menyempurnakan wudhu di saata-saat yang tidak disukai (seperti air yang dingin atau ketika luka ringan), memperbanyak langkah menuju masjid (untuk shalat), dan menunggu shalat setelah shalat, dan itulah ribath,” hadits ini mirip dengan hadits yang menjelaskan bahwa jihad adaah mencurahkan kemampuan diri dalam ketaatan kepada Allah, hijrah adalah meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah, dan Islam adalah berkata yang baik dan memberi makan orang-orang miskin. Ini bukan berarti pembatasan makna ribath dengan menunggu shalat, tidak juga dengan makna seperti yang ditafsirkan oleh para ulama seperti di atas. Karena itulah, Ath-Thabary (rahimahullah) mengatakan, setelah mengutip Hadit Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) di dalam Tafsirnya; “Firman-Nya {dan lakukanlah ribath} artinya lakukanlah ribath di jalan Allah terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu dari kalangan ahlu-syirki. Menurutku, makna ribath secara bahasa berasal dari kata irtibath (mengikat) kuda dalam persiapan menghadapi musuh sebagaimana musuh mengikat kuda-kuda untuk menghadapi mereka. Kata ribath ini kemudian digunakan untuk menyebut setiap orang yang berada di garis perbatasan (tsughur) melindungi orang-orang yang ada di belakang mereka – yang berada di tempat antara dirinya dan diri mereka – dari para musuh yang menginginkan keburukan atas mereka, dan musuh memiliki kuda-kuda yang telah terikat, atau mereka berdiri di atas kaki-kaki mereka jika mereka tidak memiliki binatang tunggangan. Kita mengatakan bahwa makna {dan lakukanlah ribath}  adalah ‘lakukanlah ribath terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu’ karena makna ini adalah makna yang telah difahami dari kata ribath, dan sebuah kata semestinya digunakan dengan makna yang sudah diketahui secara umum sebagaimana digunakan oleh orang-orang, bukan dengan makna yang samar, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa kata tersebut ditujukan kepada makna lain, baik itu ayat dari Al-Quran, hadits dari Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam), atau ijma’ dari para ulama tafsir”.
Ibnu Qutaibah (rahimahullah) juga berkata; “{dan lakukanlah ribath} di jalan Allah. Makna asalnya secara bahasa adalah murabathah (ribath) adalah mengikat; di mana orang tersebut mengikat kudanya, dan kemudian salah seorang dari mereka mengikat kuda mereka di garis depan perbatasan (tsughur). Setiap mereka menyiapkan kuda untuk rekannya. Sehingga keberadaan mereka di garis perbatasan disebut ribath”. [Gharib Al-Quran].
Banyak orang juga tidak membedakan antara ribath (mempertahankan garis perbatasan) dan hirasah (tugas jaga). Seseorang mungkin disebut murabith (orang yang ribath) walau dia tidak hirasah, seperti seorang murabit yang berada di perbatasan yang tidur, makan, berlatih, berbincang, membaca atau shalat, baik sebelum atau sesudah gilirannya hirasah. Dia mungkin juga menjadi seorang murabith walau di sana dia memasak dan bersihbersih untuk para murabith lainnya, sambil tetap menunggu dan siaga untuk mempertahankan perbatasan jika ada orang-orang kafir menyerang, bahkan walau dia belum pernah mendapat giliran hirasah, karena pelayanannya dibutuhkan oleh orang lain selama di ribath, seperti yang diperintahkan oleh amirnya. Dia seorang Murabith bahkan jika gilirannya untuk hirāsah tidak kunjung datang, tidak juga datang untuk waktu yang sangat lama, atau tidak pernah datang sama sekali, selama dia tulus berkomitmen untuk melakukan hal itu jika gilirannya memang datang. Dia adalah seorang Murabithun (bentuk jamak dari murabith) bahkan jika pos perbatasan yang dia jaga dalam keadaan tenang, meskipun balasan untuk menjaga pos yang berbahaya adalah lebih besar. Dan hirāsah adalah tingkatan mulia dari Jihad yang diberikan kepadanya oleh Allah (Swt) selama dia melakukan Ribath dan itu menjadi wajib atasnya jika amirnya memerintahkan hal itu padanya. Rasulullah (sallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Dua mata tidak akan pernah disentuh oleh api Neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang terjaga karena berjaga di jalan Allah [Hasan: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas]. Alangkah mulia balasan sebuah mata yang terjaga karena menjaga kaum muslimin!
Kemuliaan satu hari di dalam ribat
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Satu hari ribath di jalan Allah adalah lebih baik dari pada dunia dan seisinya, tempat cambuk salah seorang dari kalian di surga lebih baik dari dunia dan seisinya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Ribat sehari semalam lebih baik daripada puasa & shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yg pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur). [Diriwayatkan oleh Muslim dari Salman].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Satu hari ribat di jalan Allah adalah lebih baik dari seribu hari dihabiskan untuk selain itu”. [Hadits Hasan; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dari Utsman bin Affan].
Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) berkata; “Satu hari ribath di jalan Allah lebih aku cintai dari pada shalat malam pada malam Lailatul Qadar di salah satu dari dua masjid; Masjid al-Haram dan Masjid Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) [Sunan Sa’id bin Manshur].
Hal yang bisa membantu kita memahami mengapa pahala Ribath sangat besar adalah apabila kita merenungkan bahwa orang yang beribadah kepada Allah – termasuk para ulama – tidak akan mampu melakukan amal ibadah mereka jika tidak karena para murābitīn yang menjaga pos perbatasan. Jika para murābitīn meninggalkan posisi mereka, meninggalkan mereka tanpa perlindungan, semua kota Muslim, kota, dan desa-desa akan berada di bawah ancaman untuk diserang dan digeledah orang-orang kafir. Dengan demikian, para ulama mengatakan bahwa Murabitun mendapatkan pahala dari semua Muslim yang ada di belakangnya yang beribadah kepada Allah, karena dengan Ribathnya itu memungkinkan mereka untuk fokus dalam ibadah mereka kepada Allah, sebagaimana seorang Muslim yang peduli kepada keluarga Mujahid selama ketidakhadirannya, dia akan mendapat pahala jihad seorang Mujahid. Rasulullah (sallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang fi sabilillah dengan baik maka sungguh ia telah ikut berperang.” [HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Zayd Khālid].
Kaum salaf dan empat puluh hari ribat
Salah seorang Anshar datang kepada Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhu), Umar bertanya kepadanya; “Dari mana saja engkau?” dia menjawab; “Dari melakukan ribat”, Umar bertanya lagi; “Berapa hari engkau melakukan ribat?” dia menjawab; “Tiga puluh hari”. Umar berkata kepadanya; “Kenapa engkau tidak melengkapinya dengan melakukannya selama empat puluh hari?”. [Mushannaf Abdir Razzaq].
Anak Ibnu Umar (radhiyallahu anhum) melakukan ribath selama 30 hari, lalu dia pulang, maka Ibnu Umar berkata kepadanya; “Aku tekankan engkau sebaiknya kembali dan melakukan ribath sepuluh malam lagi hingga genap menjadi empat puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah].
Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) berkata; “Ribat yang sempurna adalah selama empat puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah].
Berdasarkan atsar ini dan lainnya, ketika Imam Ahmad (rahimahullah) ditanya; “Berapa lamakah waktu terbaik utnuk ribat?” Dia menjawab; “Empat puluh hari”. Ishaq bin Rahawaih berkata; “Ini sebagaimana yang dia katakan”. [Masa`il al-Imam Ahmad wa Ishaq ibn Rahawaih]. Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa ketika seseorang hendak melakukan ribath, maka yang terbaik baginya (dan bukan hal yang wajib) untuk melakukannya setidaknya empat puluh hari atau lebih, sebelum dia kembali ke tempatnya untuk beristirahat. Ini adalah ribath menurut manhaj kaum salaf.
Kemuliaan meninggal di saat ribat
Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Semua orang yang meninggal maka amalnya akan terhenti di saat dia meninggal, kecuali murabith, amalnya akan terus berkembang hingga hari kiamat, dan dia aman dari fitnah kubur”. [Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Fadalah bin Ubaid].
Hadits Nabi (shallallahu alaihi wa sallam) yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salman al-Farisi (radhiyallahu anhu) di atas telah menyebutkan; “jika dia (murabith) meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yg pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur)”.
Kematian ini adalah kematian yang paling mulia dan pahala ini telah dijamin bagi seorang Murabitun yang meninggal di saat Ribath, bahkan jika kematiannya adalah karena penyakit, usia, atau kecelakaan. Berapa banyak lagi kemuliaan apabila kematiannya adalah kesyahidan yang disebabkan oleh serangan udara dari tentara salib dan sekutu murtad mereka?
Pahala seseorang yang tetap mengalir walau orang tersebut telah meninggal, telah disebutkan di dalam hadits yang lain. “Apabila bani Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal; Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakannya”. [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah]. Pahala dari sedekahnya, ilmu, dan anaknya senantiasa mengalir selama sedekah itu masih ada, ilmu itu masih bermanfaat dan anak itu masih berdoa untuk orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini secara langsung dan dalam hadits lainnya secara tersirat, sedangkan pahala orang yang gugur ketika ribath, dia akan terus berkembang dengan sendirinya tanpa ada hubungan dengan kondisi lain, dan ini hanya bagi murabith! Pahala ini tidak disebutkan bagi orang yang mati syahid dalam pertempuran, tetapi bagi seorang murabith yang sedang menjalankan tugas ribathnya yang mungkin saja meninggal karena faktor usia atau ketika sedang tidur untuk istirahat! Maka alangkah muliah kematian ini?! Dan berapa banyak dorongan bagi seseorang untuk senantiasa berdoa agar mendapkan kematian paling mulia – syahadah –  di saat sedang ribat!
Ribat dan jihad terbaik
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma) berkata; bahwasanya Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Permulaan urusan ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian datang kekhalifahan dan rahmat, kamudian akan datang kerajaan dan rahmat, kemudian akan datang imarah dan rahmat, lalu setelah itu akan saling menggigit satu sama lain terhadap dunia sebagaimana keledai yang menggigit. Maka lakukanlah jihad, dan sesungguhya sebaik-baik jihad kalian adalah ribath, dan sebaik-sebaik ribath kalian adalah di ‘Asqalan”. [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad hasan]. ‘Asqalan adalah nama kota di Palestina.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan dengan sedikit perbedaan dalam redaksi kalimatnya (dengan penambahan dan pengurangan), baik itu sabda dari Nabi (shallallahu alaihi wa sallam) ataukah dari perkataan beberapa shahabat (radhiyallahu anhum). [Lihat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]. Wallahu a’lam. Dalam riwayat lain juga ditunjukkan bahwa ribath menjadi jihad yang terbaik setelah masa-masa penguasa muslim yang penyayang dari kalangan para khalifah, yaitu pada masa raja-raja muslim tiran, masa mereka adalah sebelum masa para pemerintah thaghut murtad ini, yang mana era ini akan berakhir dengan bangkitnya era khilafah, wallahu a’lam.
Imam Ahmad (rahimahullah) berkata, “Dalam pandanganku, tidak ada yang menyamai pahala jihad dan ribat. Ribath mempertahankan kaum muslimin dan keluarga mereka. Ini menguatkan orang-orang yang ada di pos perbatasan dan  orang-orang yang di medan pertempuran. Karena itu, ribat adalah akar dan cabang dari jihad. Jihad lebih baik dari ribath karena kesulitan dan kelalahannya… ribath yang terbaik adalah yang paling sengit”. [Al-Mughni].
Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan untuk menambah jumlah murābitīn (yang hanya dapat ditentukan oleh Imam), seseorang sebaiknya tidak lebih memilih pertempuran dari pada Ribath karena ketidaksabaran atau asumsi pribadi, dan seseorang melakukan Ribath pada umumnya dan kembali untuk itu setelah bertempur, sehingga berperang dalam medan pertempuran adalah lebih baik karena mengandung bahaya dan kesulitan. Jika tidak, seseorang harus tahu bahwa berjuang dalam pertempuran untuk menghindari Ribath adalah tidak tepat bagi seorang Mujahid sejati untuk sekedar dipertimbangkan. Hal ini dapat mencapai tingkat dosa besar jika dia diperlukan untuk ribat tapi dia enggan atau tidak mematuhi perintah pemimpin. Semakin banyak pikiran seperti ini maka akan semakin berbahaya ketika semua pos perbatasan merupakan prioritas para tentara salib dan murtad dalam usaha mereka merebut tanah Khilafah?
Petunjuk dan Rahmat Allah atas para murabithun
Sufyan bin Uyaynah (rahimahullah) berkata; “Jika engkau melihat orang-orang berselisih, maka berpeganglah kepada para mujahidin dan orang-orang yang berada di garis perbatasan (ahlu tsughur) karena Allah berfirman; {Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, sungguh Kami pasti akan memberi mereka petunjuk kepada jalan Kami} [al-Ankabut: 69]” [Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al-Qurthubi].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (rahimahumallah) juga menyandarkan perkataan ini kepada Al-Auza’I, Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad dan lainnya (rahimahumullah) [Majmu’ al-Fatawa; Madariju As-Salikin].
Setelah mengutip perkataan Ibnul-Mubarak dan Imam Ahmad ini, Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah mengatakan, “Secara umum, tinggal di perbatasan, melakukan Ribath,  dan membiasakan diri dengan Ribath adalah sesuatu yang berat. Pos perbatasan (tsughur) dihuni oleh Muslim terbaik dalam ilmu dan amal. Itu adalah tanah terbaik untuk membangun ritual Islam, realitas Iman, dan amar ma’ruf nahyi munkar. Setiap orang yang ingin mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, mengabdikan dirinya kepada-Nya, dan mencapai zuhud, ibadah, dan kesadaran terbaik, maka para ulama akan mengarahkannya ke pos perbatasan “[Jami ‘al-Masa’il].
Al-Mundziri (rahimahullah) memberikan judul di dalam kitabnya “At-Targhib wa At-Tarhib”  dengan “At-Targhib (dorongan) Bagi Orang Yang Berperang Dan Murabith Untuk Memperbanyak Amal Shalih Seperti Shalat, Puasa, Dzikir Dan Lain Sebagainya”, dia kemudian membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri (radhiyallahu anhu) di mana Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun”. Dia kemudian juga membawakan hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa amal shalih yang dilakukan di saat jihad akan dilipat gandakan pahalanya. Dia kemudian berkata; “Dan yang jelas, seorang murabith juga fi sabilillah, sehingga pahala amal shalih yang dikerjakannya juga dilipat gandakan sebagaimana amal shalih seorang mujahid dilipat gandakan”. Kesempatan untuk beramal shalih bagi murabith juga lebih banyak dibanding seorang yang sedang berperang, dia mungkin bisa shalat, puasa, membaca, mengajar, dan lain sebagainya dengan mudah, sedangkan orang yang sedang berperang tersibukkan oleh ganasnya peperangan, bahkan dalam beberapa keadaan hal ini bisa menggugurkan kewajiban berpuasa dan membolehkan mereka untuk menunda pelaksanaan shalat wajib.
Pada ayat yang disebutkan di atas (Al-Ankabut: 69) menunjukkan bahwa seseorang yang mencari ilmu ketika sedang ribat maka dia akan diberkahi dengan petunjuk Allah terhadap si hamba. Seorang murabith dapat menghafal al-Quran dan mempelajari tafsirnya, menghafal hadits dan mempelajari maknanya. Dia juga dapat mempelajari tauhid, iman, adab, zuhud, fiqh, sirah dan lain sebagainya… dan ketika dia berdoa kepada Allah agar dia diberi kemampuan untuk mempraktekkan apa yang telah dia pelajari, maka dia akan dapati bahwa do’anya dikabulkan dan petunjuk yang dia inginkan diberikan. Ribathnya – insya Allah – akan menjaga ilmunya bersemayam di dalam hati dan pengaruhnya akan dirasakan di lisan dan anggota badan. Begitu juga hadits-hadits lain yang bahwa ribathnya juga akan memperbanyak keberkahan pada amal ibadah lainnya yang dia kerjakan di saat berada di pos perbatasan (tsughur).
Ribath dan jalan menuju kesyahidan
Sejak kebangkitan jihad lebih dari tiga puluh tahun lalu, pemimpin Mujahid telah menyatakan bahwa jihad itu – pada tingkatan pribadi – terdiri dari langkah panjang menuju Syahadah (kesyahidan). Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan Hijrah ke tanah jihad (sekarang, Darul-Islām), kemudian memberikan bai’at, berjanji setia yang mengharuskan ketaatan (sam’u wa thā’ah) kepada Amir (sekarang, Khalifah) dan berkomitmen terhadap Jama’ah (sekarang, Khilafah), kemudian berlatih (i’dad) untuk tujuan jihad, lalu bersabar menghabiskan bulan-bulan Ribath, menjalani tugas jaga (hirāsah) yang tak terhitung jumlah jamnya, kemudian berperang (qital) di medan pertempuran dan membunuh (qatl) siapa saja yang dapat dia bunuh dari kalangan musuh kafir, dan akhirnya mencapai Syahadah. Jalur ini didasarkan pada teks-teks dari Qur’an dan Sunnah[2]yang menghubungkan amal ini satu sama lain, dari pengalaman yang diperoleh dengan menghidupkan jihad dari hari ke hari, dan memperhatikan para Syuhada dan kafilah mereka. Tentu saja, selalu ada pengecualian, seperti seorang Muhajir yang mencapai syahadah selama di kamp pelatihan atau Murabitun yang meraihnya pada hari pertama ribat. Tapi ini adalah peta jalan setiap Mujahid yang harus difahami demi untuk memaksimalkan buah dari jihad itu. Jika tidak, bagaimana kita bisa mengharapkan seseorang untuk bersabar di medan perang yang menakutkan sementara dia tidak mampu bertahan menghadapi kesulitan Ribat?




Antara Kelembutan Al Baghdadiy dan Sikap Keras Al Adnaniy, Akan Tegak Khilafah Islam




Antara Kelembutan Al Baghdadiy dan Sikap Keras Al Adnaniy, Akan Tegak Khilafah Islam
Redaksi Shoutussalam menemukan sebuah artikel menarik besutan seorang al Akh Mujahid di Iraq, bernama Abu Khobbab al Iroqiy yang tersebar luas di Internet dan Media Jejaring Sosial hari Jum’at ini (2/5/2014).
Tulisan unik tersebut menyoroti sikap keras dari Juru Bicara Resmi Daulah Islam Iraq dan Syam, Syaikh Abu Muhammad al Adnaniy asy Syami dan sikap lemah lembut Amirul Mukminin Syaikh Abu Bakar al Baghdadiy seperti yang bisa kita ketahui dari kisah-kisah mereka maupun kita dengar dari tutur kata keduanya di rekaman-rekaman audionya.
Abu Khobbab al Iroqiy lantas membandingkan karakter keduanya yang saling bertolak belakang ternyata juga menjadi karakter khas pemimpin-pemimpin kaum muslimin, termasuk punggawa-punggawa Khilafah Islam dari masa-masa ke masa.
Berikut ini terjemah lengkap artikel menarik tersebut!
Antara Kelembutan Syaikh al Baghdady dan Kerasnya Syaikh al Adnany, Akan tegak Khilafah –Dengan Izin Allah-
Oleh : Abu Khobbab Al-’Iroqy
Rosululloh –shollallahu ‘alaihi wasallam menghimpun sifat antara kelemah lembutan pada tempatnya, dan sikap keras pada tempatnya. Dunia pun terkendalikan, Jazirah Arab ditaklukkan. Memberikan sebagian kecil penghargaan atas Ayah dan Bunda.
Kemudian muncul-lah Kholifah as Shiddiq, seorang pemilik sifat belas kasih dan keramahtamahan, pelayan para sahabat. Ia membutuhkan pendamping yang senantiasa hadir disamping-nya, yaitu Al-Faruq (Umar bin Khattab) dan Kholid bin Walid.
Tidaklah sekali-kali kholid menyingkir menjauhi Abu Bakar walaupun sabetan pedang menimpanya. Kelapangan dada sebagian mereka menerima kesalahan sebagiannya, keridhoan Allohlah bagi mereka semua, sehingga strategi ini menjadi lurus dan berjalan dalam garis yang benar (InsyaAlloh).
Adapun Engkau wahai Daulah Islam, lihatlah olehmu, bagaimana Allah mengatur perkara urusanmu?!
Tanpa melemahkan jiwamu sejak halusnya taringmu sehingga cepatnya kepulanganmu. Seorang Abu Mush’ab az Zarqawiy muncul dengan sikapnya yang keras terhadap musuh-musuh Dien ini.
Ia ditemani oleh seorang pemilik sifat belas kasih dan penyayang, yaitu Abu Anas Asy Syami.
Lalu seorang Abu Umar al Baghdady (Amirul Mukminin Pertama Daulah Islam di Iraq) dengan kelembutan dan sikap pengasih-nya, ia ditemani oleh seorang yang kuat dan keras perangainya yaitu Abu Hamzah al Muhajir (Menteri Perang Daulah Islam di Iraq).
Dan inilah, kelembutan dan keramahan Syaikh Abu Bakar al Baghdady, berdiri bersama-nya (disampingnya) Syaikh Abu Muhammad al Adnany, seseorang yang pemberani dan keras sikapnya, agar kafilah ini berjalan menuju Khilafah tanpa menghiraukan kata-kata para penghasut dan teriakan yang keluar dari mulut-mulut orang dzolim yang berbahaya.
Tidak ada penipu yang menunggu dengan tipu daya (makar)nya, maka berilah kabar gembira.
Wahai para prajurit Daulah Islam, perahu Daulah tengah berjalan menuju Khilafah, berjalan diatas perlindungan Allah serta pengawasanNya.
Janganlah kalian takut kecuali atas dosa-dosa kalian. Bersegeralah menuju pangkuanNya dengan Taubat yang tulus dan murni. Perbanyaklah Istighfar (mohon ampun), tidaklah kemenangan itu datang melainkan sekejap waktu dari kesabaran.
Ya Allah yang menurunkan al Kitab (al Qur’an), yang menjalankan awan, yang menghancurkan pasukan Ahzab, menangkan-lah Daulah Islam, kuasakanlah baginya di muka bumi.
sumber : shoutussalam/arkan/ zahid


PESAN TERBUKA DARI MANTAN ANGGOTA HTI YG KINI MENJADI ANSHOR DAULAH

Standard
tiada khilafah tanpa tauhid dan jihad

PESAN TERBUKA DARI MANTAN ANGGOTA HTI YG KINI MENJADI ANSHOR DAULAH

“Nostalgia hijrah dari khilafah palsu HTI kepada Khilafah Islamiyah / IS yang sah secara syar’i”
Ya Allah makasi atas nikmat ini, nikmat jalan nya para anbiya wa sahabat…!!
Makasi atas nikmat baiat yg engkau berikan kpd hamba utk membaiat khalifah Ibrahim…
Dan aku serukan kpd ikhwan HT bukalah mata hati klian, jgn tutupi hati klian dgn kebencian kpd khilafah yg berkah ini, jgn ikuti guru dan ustad klian yg tdk berdasar menuduh daulah islam, ketahuilah kita berada di zaman dai penyeru jahannam…
Ya allah jadikan lah kami dr bagian tentara khilafah yg berjuang dengan kitab wa silahh, tidak dengan mengemis para thogut ….
Aku serukan kpd ikhwan HT agar mereka jgn taklid buta, carilah kebenaran ttg daulah dan jgn cr keburukannya saja, sungguh tk ada dalil yg kuat utk menyebut khilafah di syam ini bathil…
Janganlah klian menjadi seperti bani israel yg meminta kpd nabi mereka agar allah memberikan mrk seorg pemimpin utk mlwan kezaliman raja jalut yg memerintah mrk..
Maka allah mengabulkan keinginan mrk dgn mengangkat thalut org miskin diantara mrk tp memiliki ketaqwaan di sisi allah..
Maka di karenakan pemimpin itu bukan dr kalangan mreka, maka dengan sombong mrk menolak tholut sbg pemimpin di sebabkan status tholut org miskin dan mreka berharap pemimpin itu diangkat dr kalangan mereka yg hadir pada saat memohon kpd nabi pada hari itu ..
Jgn sampai kisah bani israel itu terulang lg di zaman ini,,,!!!
Jika bani israel dahulu memohon berulang ulang kpd nabi mrk agar allah menunjukkan pemimpin bwt mreka maka pd hari ini HT begitu pula berdoa berulang-ulang di tiap seminar dan pawai mrk agar allah menyegerakan khilafah…
Maka ketika allah mengangkat tholut yg bukan dr kalangan mreka agar memimpin bani israel, maka mrk bani israel menolaknya di karenakan alasan :
“MENGAPA ALLAH TDK MENUNJUK PEMIMPIN ITU DI ANTARA KAMI…???””
begitu pula HTI saat ini di mana allah tlah mengabulkan keinginan mrk dengan di tegakkannya khilafah oleh ikhwan daulah islam (IS) tp mreka dengan sombong menolaknya dgn menggunakan pelbagai alasan yg tk berasas, seolah olah mrk spt bani israel zaman ini yg mengatakan :
“MENGAPA ALLAH TIDAK MENEGAKKAN KHILAFAH MELALUI KAMI (hizbut tahrir), BUKANKAH KAMI TLAH LAMA BERJUANG UTK ITU, DAN MENGAPA ALLAH TDK MENUNJUK DI ANTARA KAMI SEBAGAI KHOLIFAH ?????””
Maka jgn lah sampai kisah bani israel dan tholut terulang lagi di zaman ini wahai ikhwah, kemarilah dan merapatlah dgn khilafah yg barokah ini di mana tiap harinya makin meluas dan menguat wlau di serang dr segala arah…
Kembalilah ke jalan para salafus sholeh di mana mreka menghabiskan waktu nya di medan peperangan dengan senjata dan darah, bukan medan pertempuran spanduk di jalanan di iringi teriakan kosong “TEGAKKAN KHILAFAH” …
Persaksikanlah ya allah sesungguhnya ana tlah menyampaikan, persaksikanlah ya allah ana tlah menasehati dan jgn lh engkau masukkan hamba ke dlm golongan org yg merugi….
Sebarkan ya ikhwah kpd ikhwan HT semoga menjadi asbab hidayah bagi mreka agar terbukamata hati mreka..


HTI Mengigau, Rapat dan Pawai nya Disamakan dengan “Perang Tabuk”

Standard
HTI Mengigau, Rapat dan Pawai nya Disamakan dengan Perang Tabuk
HTI Mengigau, Rapat dan Pawai nya Disamakan dengan “Perang Tabuk”
Wahai Syabab HT, Wahai kalian yang enggan berjihad! Sekali lagi kami katakan bahwa Khilafah Islamiyyah telah tegak berdiri, kokoh dengan pilar-pilarnya yang menghujam bumi. Tak tergoyahkan meskipun koalisi kaum munafikin dan kafir salibis yang tak henti-hentinya menghujani bumi khilafah Islamiyyah dengan bom-bom dari pesawat tempurnya dan tak henti-hentinya menuduh dengan berbagai tuduhan keji yang tak terbukti supaya umat islam lari dan menjauhi, Khilafah tetap tegak berdiri, bahkan wilayahnya semakin melebar dan melebar dan Bai’at dari seluruh penjuru bumi silih berganti untuk sang Khalifah Syaikh Mujahid al-Imam al-Mujaddid, keturunan Ahlul Bait, Ibrahim bin Awad bin Ibrahim bin Ali bin Muhammad al-Badri al-Qurasy al-Husaini al-Baghdadi hafizhahullah.
Pada ahad 01 Ramadhan 1435 H (29/06/14), ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) dibubarkan & Khilafah Islamiyyah dideklarasikan. Beberapa pekan lagi akan genap 1 tahun. Alhamdulillah !! Telah banyak prestasi yang ditorehkan Khilafah Islamiyyah dalam menegakan Syariat Islam selama hampir 1 tahun ini di wilayah yang telah berhasil dikuasainya dimana kaum muslimin bisa dengan leluasa mengamalkan semua apa yang diajarkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Hudud telah diterapkan, jizyah telah dilaksanakan dan kuil-kuil syirik serta kuburan telah diratakan. Alhamdulillah.
Bukan perjuangan yang mudah dan bukan pula waktu yang sebentar. Khilafah Islamiyyah tegak berdiri diatas kucuran darah para syuhada yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakan agama Alloh subhanahu wa’ataala.
Ingatlah, “Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim No.3444].
Sekilas mengenai Perang Tabuk, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam beserta para mujahidin meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka lakoni juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir yang diatas rata-rata. Perang  ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.
Sesampainya di Tabuk, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tidak menemukan satu pun kaum musrikin. Pasukan Bizantium (Romawi Timur) dan para sekutunya merasa takut dan gentar setelah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyerukan jihad fie sabilillah dengan menggalang 30 ribu pasukan. Musuh-musuh Islam berpencar ke batas-batas wilayahnya.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka yang kemudian mereka pegang. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi setelah 30  hari meninggalkan Madinah.
Wahai syabab HT, Wahai kalian yang enggan berjihad!
Apakah orasi-orasi, rapat-rapat dan pawai-pawai yang kalian lakukan selama ini dengan jumlah puluhan ribu orang itu menggetarkan musuh-musuh Islam dan menggoncangkan singgasna Thaghut? yang kalian samakan seperti Perang Tabuk diatas? sungguh sangat jauh berbeda, lebih pantasnya disebut Pawai Tabuk ketimbang Perang Tabuk.
Dalam perang tabuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyerukan jihad fie sabilillah dengan mengangkat senjata bukan mengangkat pengeras suara.
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Bukankah Allah berfirman: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah, dan jadilah seluruh dien (agama) ini milik Allah” (Al-Anfal (8):38) Bukankah kalian telah mengetahui firman Allah ini: “Dan bunuhlah kaum musyrikin itu dimana saja kamu menjumpai mereka, dan tawanlah mereka, dan kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat-tempat pengintaian” (At-Taubah (9):5).
Bukankah Allah telah berfirman :”Dan perangilah mereka kelak Allah akan mengadzab mereka dengan tangan-tangan kamu, dan menghinakan mereka dan Allah menolong kalian atas mereka, dan menyembuhkan dada-dada orang beriman, dan menghilangkan panas hati mereka.” (At-Taubah (9):14) Dan Allah memberi ampunan bagi siapa yang dikehendaki
Bukankah Allah Jalla Wa-‘Alla berfirman: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (At-Taubah (9):29)
Bukankah Allah berfirman:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (At-Taubah (9):73, At-Tahrim (66):9) ?!
Bukankah Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(At-Taubah (9):123)!!?
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Allah Jalla Wa’Alaa berfirman:
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (At-Taubah (9):19-20)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.(At-Taubah (9):24)
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(At-Taubah (9):38-39)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(At-Taubah (9):41)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu. Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (At-Taubah (9):46)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.(At-Taubah (9):81-82)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Bukankah kalian tahu kisah tentang Tiga orang yang tidak ikut berjihad dalam perang Tabuk yang kalian samakan dengan orasi-orasi kosong kalian? Apa dosa mereka? Dan apa kesalahan mereka yang menyebabkan mereka tercela? Tidak lain, dosa mereka adalah karena mereka tidak berjihad! Mereka tidak berjihad, renungkanlah oleh kalian, mereka itu adalah sahabat radhiyallahu ‘anhum, termasuk golongan manusia terbaik, mereka ikut berperang bersama nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dalam sebagian peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, apa gerangan balasan mereka? Balasan mereka adalah ; Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memboikot mereka selama Lima puluh malam, padahal mereka sendiri bertaubat kepada Allah akan tetapi Allah tidak memberi mereka taubat kecuali setelah Limapuluh malam!! Sesungguhnya masalah ini adalah teramat penting. Maka tanyakanlah pada diri-diri kalian, dan hisablah diri-diri kalian sebelum dihisab oleh Allah di hari akhir kelak.
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda : Jihad akan tetap menjadi sesuatu yang menarik hati, selagi air tercurah dari langit. Akan datang masanya kepada manusia, orang-orang yang dianggap quraa (mengerti agama) akan berkata kepada mereka :
“Sekarang bukan zamannya Jihad”, barangsiapa menjumpai zaman seperti itu, maka Jihad di waktu itu adalah sebaik-baik Jihad. Sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam: “Apa ada orang yang berkata seperti itu?”, “Ada” yaitu orang-orang yang Allah telah melaknatnya, juga malaikat, bahkan sekalian manusia melaknatnya”, jawab Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.
Wahai kalian yang enggan berjihad!
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Al-baqarah (2):195). Maksudnya ‘kebinasaan’ dalam ayat ini adalah : meninggalkan jihad dan sibuk dengan diinar (harta)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Tahukah kalian siapakah mu’min yang sebenarnya? Mereka itu adalah sebagaimana difirmankan oleh Allah: “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia.” (Al-Anfal (8):74)
Wahai kalian yang enggan berjihad!
Khilafah Islamiyyah telah tegak, hentikanlah orasi kosongmu itu dan berbai’atlah kepada sang Khalifah jangan kalian jatuhkan diri kalian dalam kebinasaan dan kerugian.
Wallahu A’lam