Cari Blog Ini

Selasa, 13 Oktober 2015



[Pesan Kepada Saudari Muslimah] A JIHAD WITHOUT FIGHTING

Jihad Tanpa Perang

Oleh: Ummu Sumayyah al-Muhajirah
Alih Bahasa: Usdul Wagha
[Diterjemahkan dari artikel berjudul: “A Jihad Without Fighting” dari majalah Dabiq edisi 11]
Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, Yang memuliakan kaum muslimin dan menghinakan kaum musyrikin. Semoga shalawat dan salam tercurah selalu kepada pemimpin manusia dari awal hingga akhir, pemimpin kita; Muhammad, kepada keluarganya dan para shahabat seluruhnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka di dalam kebaikan hingga hari kiamat. Amma ba’du;
Sesungguhnya ketika Allah mewajibkan Jihad di Jalan-Nya terhadap para hamba-Nya yang laki-laki dan menjadikan di dalamnya pahala yang sangat besar yang tidak di dapati di dalam kewajiban-kewajiban lainnya, sebagian kaum wanita menjadi cemburu dan merasa iri, sehingga Ummu Salamah radhiyallahu anha bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti yang disebutkan di dalam hadits Mujahid, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki keluar untuk berperang, sedangkan kami tidak keluar untuk berperang …” maka Allah Ta’ala menurunkan; {Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.} [An-Nisa: 32] sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya.
Namun, biarpun tidak ada kewajiban jihad dan berperang atas wanita muslimah – kecuali dalam mempertahankan diri dari orang yang menyerangnya – bukan berarti telah gugur peranannya dalam membangun umat, membentuk para pria, dan mendorong mereka ke medan laga.
Karena itu, aku goreskan pena ini bagi para ukhti muslimah, istri para mujahid dan ibu bagi para anak-anak singa.
Allah berfirman, {Dan di antara mereka ada orang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”, Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya} [Al-Baqarah: 201-201].
Menurut Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu anhu, {Kebaikan di dunia} maknanya adalah “Istri yang shalihah” [Zad al-Masir].
Tsauban berkata, “Ketika turun tentang ayat emas dan perak, para shahabat bertanya; “Maka kekayaan apakah yang harus kita usahakan untuk kita miliki?” Umar berkata; “Aku akan mencari tahu untuk kalian.” Dia kemudian naik ke atas untanya dan berjalan cepat hingga mendapati beliau, sedangkan aku berada di belakangnya, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, kekayaan seperti apakah yang harus kita cari?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Hendaknya setiap dari kalian menjadikan hatinya hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan istri yang menolongnya dalam urusan akhiratnya” [Hasan: diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah].
Ayah, ibu dan diriku sendiri sebagai tebusannya, sungguh Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah dikaruniai sifat jawami’ul-kalim: “Seorang istri yang menolongnya dalam urusan akhirat.” Akhirat, hal yang paling penting, pelabuhan terakhir dan tujuan utama setiap fikiran seorang mukmin yang cerdas. Maka alangkah mengena perkataan salah satu wanita kepada suaminya tatkala dia melihatnya sedang bersedih, “Apa yang membuatmu bersedih? Apakah karena dunia sedangkan Allah telah membuatmu istirahat darinya, atau tentang akhirat, semoga Allah menambah kesedihanmu”.
Dan engkau wahai ukhti fil Islam dan istri para mujahid, suamimu adalah orang yang mana seluruh dunia hari ini sepakat untuk memeranginya. Saudariku, tahukah engkau siapa mujahid itu? Mereka adalah orang yang telah mencampakkan dunia di belakang mereka dan berjalan menuju kematian demi hidupnya umat. Dan aku rasa ketika dia datang untuk menikahimu ketika itu dia adalah seorang mujahid atau jika tidak dia adalah calon mujahid. Paling tidak engkau ketika itu tahu akidahnya dan manhajnya, dan engkau tahu jenis kehidupan apa yang akan dijalaninya. Dan jika ketika itu dia adalah orang yang qa’id (duduk-duduk tidak berjihad) dan tersesat, maka dia telah bertaubat kepada Allah, dan Allah lebih berbahagia dengan taubat seorang hamba-Nya daripada seorang laki-laki yang terbangun dari tidurnya dan mendapati untanya ada di sisinya, padahal sebelumnya dia hilang dan tersesat di tengah sahara! Lalu mengapa kita dapati ada istri para mujahid yang mengeluh dalam kehidupan mereka? Jika dia mendengar ada pertempuran yang dekat yang suaminya akan ke sana dia marah. Jika dia melihat suaminya mengenakan baju tempurnya dia gelisah. Jika suaminya keluar untuk ribat, suasana hatinya menjadi gundah. Jika suaminya pulang terlambat, dia mengeluh. Wahai saudariku, siapakah yang memperdayamu dengan mengatakan kehidupan jihad itu kehidupan yang nyaman dan menyenangkan? Tidakkah engkau mencintai jihad dan orang-orangnya? Coba dengarkanlah. Sesungguhnya engkau terhitung sedang di dalam jihad ketika engkau menanti suamimu kembali dengan penuh kesabaran dan penuh pengharapan akan pahala Allah, berdoa untuknya agar dia diberi kemenangan dan tamkien. Engkau berada di dalam jihad ketika engkau menjaga kesetiaanmu kepadanya di saat ketidak-hadirannya. Engkau berada di dalam jihad ketika engkau mengajarkan anak-anaknya antara yang benar dan yang salah, antara yang haq dan yang bathil. Sungguh, engkau wahai saudariku yang tercinta, hari ini engkau adalah istri seorang mujahid, dan mungkin esok hari engkau adalah istri seorang syahid, atau istri seorang pejuang yang terluka, atau istri seorang yang berada di dalam tawanan – maka berapa banyakkah kesabaran yang telah engkau siapkan? Jika saja engkau telah mengeluh dan mengadu di saat kemudahan dan kelapangan, maka apa yang engkau akan lakukan di saat kesusahan dan musibah? Akankah engkau bersabar tatkala suamimu kembali sambil membawa darah yng mengalir? Atau jangan-jangan engkau hanya menginginkan suamimu hanya ketika dia dalam keadaan baik?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata; “Para ulama tafsir dan sejarah, juga yang lain berpendapat bahwa nabi Ayyub alaihis-salam adalah seorang yang berharta, yang memiliki banyak ragam kekayaan, termasuk binatang ternak, budak, kendaraan, tanah yang luas di negri al-Butsainah di wilayah Huran. Ibnu ‘Asakir mengisahkan bahwa dia memiliki semua itu dan memiliki banyak anak laki-laki dan keluarga. Kemudian dia terhalang dari itu semua dan mendapat cobaan di setiap tubuhnya dengan berbagai jenis penyakit hingga tidak tersisa kecuali hati dan lisannya yang berdzikir kepada Allah, dan dia tetap bersabar dan penuh pengharapan kepada Allah, selalu berdzikir kepada Allah baik siang dan malam, pagi dan petang. Sakit yang menjangkitinya berlangsung lama, hingga teman-teman meninggalkannya, dan keluarga menjauhinya, bahkan dia diusir dari kampungnya dan dilemparkan ke tempat sampah, orang-orang tidak mau lagi berhubungan dengannya, dan tidak ada satu orang pun yang mendekatinya kecuali istrinya, dia tetap menjaga hak-haknya, dan mengenal kebaikan yang pernah diberikan oleh suaminya dan kelembutannya atasnya, dia selalu mondar-mandir untuk mengurus urusan suaminya, membantu menunaikan hajatnya dan mengerjakan kemashlahatannya, hingga sang istri menjadi lemah dan habis hartannya, sampai-sampai dia harus membantu orang-orang demi mendapat upah, agar bisa memberi makan suaminya dan memenuhi kebutuhannya, semoga Allah meridhoinya dan membuatnya ridho. Dia tetap bersabar dengannya walau apapun yang terjadi dengan mereka, hilangnya harta, anak-anak, dan apa-apa yang menimpa mereka dari berbagai musibah yang menimpa suaminya, kesempitan hidup dan bantuan manusia, setelah sebelumnya penuh kebahagiaan, nikmat, khidmat, kedudukan, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un”. [al-Bidayah wan-Nihayah].
Ibnu Katsir rahimahullah kemudian berkata; “As-Suddī berkata bahwa daging Nabi Ayyub alaihis-salam berjatuhan dan tidak tersisa kecuali sedikit dan urat-uratnya, maka istrinya datang menemuinya membawa abu dan menebarkannya di bawahnya, ketika waktu semakin lama berjalan, istrinya berkata kepadanya; “Wahai Ayyub, andai engkau berdoa kepada Rabbmu tentu Dia akan menyembuhkanmu”, maka Nabi Ayyub menjawab; “Aku telah hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat, lalu mengapa aku tidak sanggup bersabar dalam waktu yang sedikit ini bagi Allah dibanding dengan tujuh puluh tahun itu?” maka istrinya tertegun dengan kata-kata itu, dia membantu orang-orang untuk mendapat upah dan memberi makan Ayyub ‘alaihis-salam. Namun kemudian orang-orang tidak mau lagi menggunakan tenaga wanita tersebut untuk membantu mereka ketika tahu bahwa dia adalah istri Ayyub karena khawatir akan terkena musibah seperti yang menimpanya atau tertular penyakit seperti yang mengenainya jika bergaul dengannya. Maka ketika istri Ayyub tidak lagi mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya maka dia pun pergi ke salah satu anak pembesar dan menjual salah satu kepangan rambutnya demi mendapatkan makanan yang baik dan banyak, lalu dia pun membawanya kepada Ayyub, maka Nabi Ayyub pun bertanya, ‘Dari mana engkau mendapatkan ini?” istrinya enggan untuk menjawab dan mengatakan, ‘Aku membantu beberapa orang’. Keesokan harinya, Istri nabi Ayyub kembali tidak mendapati seseorang yang mau memperkerjakannya hingga akhirnya dia menjual kembali kepangan rambutnya yang lain demi mendapatkan makanan dan membawanya kepada Ayyub, ketika Nabi Ayyub bertanya kepadanya dia tetap mengelak hingga akhirnya nabi Ayyub bersumpah tidak akan memakan makanan itu kecuali istrinya mau memberitahukan dari mana dia mendapatkannya, maka istrinya membuka kerudung kepalanya dan terlihatlah cukuran rambutnya, maka Nabi Ayyub alaihis-salam berdoa {sungguh, aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”} [Al-Anbiya: 83]. [Al-Bidayah wan-Nihayah].
Beginilah kisah istri Nabi Ayyub, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadanya dan kepada seluruh Nabi dan kepada seluruh Rasul. Dia tetap bersabar dalam menghadapi musibah yang dialami suaminya dan tetap bertahan, tidak pernah menyerah ketika Rabbnya menguji suaminya. Maka ingatlah saudariku ukhti fid-dien, akan firman Allah Ta’ala; {Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas} [Az-Zumar: 10].
Akankah engkau tetap tegar jika suatu ketika engkau mendapat kabar bahwa suamimu tertangkap atau engkau akan segera meminta cerai? Alangkah menyedihkan, sungguh alangkah menyedihkan orang-orang kami yang tertawan. Betapa banyak manusia di dunia ini yang dihinakan oleh orang-orang terdekat mereka sebelum orang-orang terjauh, namun penghinaan dari seorang istri tetaplah yang lebih pahit dan menyakitkan. Wahai muslimah, wahai istri tawanan, hai orang yang mengaku telah mencerai dunianya sebanyak tiga kali, bayangkan dia sedang menempati ruangannya yang sempit, penjara gelap dengan fikiran yang mengembara, sebuah senyum getir tersungging di wajahnya. Mungkin dia sedang membayangkan dirimu dan anak-anaknya saat itu dan kapankah cobaan itu akan berakhir sehingga dia dapat kembali berkumpul denganmu. Kenangan dan harapan yang datang bercampur, tidak terputus kecuali oleh panggilan sipir, suaranya yang dibenci beradu dengan suara denyitan pintu yang dibukanya, “Hei Fulan, ada kunjungan bagimu”. Maka dia segera keluar, dengan napas yang memburu, dia melihatmu dari jauh hingga hatinya yang terluka pun tersenyum – dengan bayangan engkau berdua tidak sanggup berhijrah ke Daulah Islamiyyah sehingga berbaiat dari tempat kalian tinggal dan berjihad di negerimu dan tidak ada hal yang menakutkan untuk mengunjunginya – dia segara menyambutmu dan mengucapkan salam, lalu membuka kata-katanya dengan bertanya tentang keadaan dan orang-orang yang dikasihinya, lalu engkau menjawabnya dengan singkat, keadaanmu gelisah tidak seperti biasanya, suaramu keluar dengan terbata-bata, dan memang seperti itulah seharusnya… sudah seharusnya engkau menutup mukamu dan bersembunyi, bahkan sudah seharusnya engkau membayangkan bahwa bumi di bawah telapak kakimu akan terpecah dan menelanmu sebelum engkau mengucapkan kata-kata itu, yang mana engkau datang untuk mengatakannya, “Maafkan aku, tetapi aku ingin bercerai darimu, karena kesabaranku sudah habis…” Ya! Begitulah dengan singkatnya. Lalu engkau berlalu dan pergi meninggalkan lelaki yang terduduk di depanmu dengan penuh rasa terkejut dan bingung. Saudari muslimahku, apakah engkau melihat dinding itu yang memisahkan kalian berdua? Apakah engkau melihat rantai belenggu yang mengikatnya? Dan berbagai jenis siksaan yang telah dia rasakan semenjak hari pertama dia tertangkap dan setiap kepahitan yang dia minum tidak sebanding dengan keputusan angkuhmu! Kami berlindung kepada Allah dari penindasan manusia!
Aku teringat ketika salah seorang ukhti datang menemuiku untuk meminta nasihat kepadaku tentang meminta thalaq dari suaminya yang ditawan karena tekanan keluarganya kepadanya dan kepada anaknya, akan tetapi setelah beberapa hari aku mendengar bahwa sebenarnya dia tidak mampu bersabar atas ujian itu sehingga dia meminta cerai dan bahwa keluarganya tidak ada kaitannya! Dan sebagian orang mungkin berpendapat bahwa ini adalah haknya apabila dia khawatir terhadap dirinya. Maka aku katakan kepada mereka, ya ini adalah haknya, akan tetapi antara hak ini dan bersabar terdapat derajat yang tidak akan diketahui nilainya kecuali oleh mereka yang memiliki jiwa yang terbuat dari emas murni, yang tidak akan berubah ketika menghadapi musibah atau keadaan yang sulit.
Berbeda dengan ukhti yang satu ini, aku mengenal seorang istri asir (tawanan) di mana dia ibarat madrasah kesabaran, kesetiaan dan keteguhan, tinggi seperti gunung yang menjulang, yang mendidik anak-anaknya sehingga menjadi singa-singa dan beruang, dia hidup dalam kenangannya dan setia menunggu pertemuannya. Sepuluh tahun berlalu semenjak dia di dalam penjara. Ya, genap sepuluh tahun, dan dia tetap tidak goyah, aku menilainya seperti itu dan hanya Allah yang dapat menilainya. Ketika dia melihat kami, dia berkata; “Apakah engkau berdoa kepada Allah untuk Abu fulan semoga dia dibebaskan?” alangkah mulia dia dan pahalanya ada di sisi-Nya.
Saudariku muslimah, ini tentang siapa yang suaminya ditawan, maka bagaimana dengan yang suaminya terbunuh? Disebutkan di dalam “Al-Bidayah wan-Nihayah” dari Ismail ibn Muhammad ibn Sa’d ibn Abi Waqqas bahwa dia berkata; “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati seorang wanita dari Bani Dinar yang mana suaminya, saudaranya dan ayahnya terbunuh dalam perang Uhud bersama Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, ketika dia diberitahu kabar duka itu dia berkata; “Bagaimana keadaan Rasulullah?” mereka menjawab, “Beliau dalam keadaan baik, wahai Ummu fulan, beliau dalam keadaan yang engkau suka untuk melihatnya, alhamdulillah”. Dia berkata; “Tunjukkanlah beliau kepadaku sehingga aku dapat melihatnya”. Dia berkata; “Kemudian orang-orang menunjukkan beliau kepadanya, dan ketika wanita itu melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, “Seluruh musibah asal tidak menimpamu adalah ringan”. [Al-Bidayah wan Nihayah].
Di sini aku tujukan kata-kataku kepada para ukhti muhajirah, berapa sering kita mendengar saudari-saudari kita yang mana suaminya terbunuh, lalu seolah bumi yang luas ini menjadi sesak bagi mereka hingga mereka kembali berpaling ke darul-kufr, di mana keluarga dan kerabat mereka berada. Lā haula wa lā quwwata illā billāh! Aku beritahukan kepada mereka, engkau berdosa jika meninggalkan darul-Islam dan kembali ke darul-kufr. Siapa pun yang melakukan hijrah hanya demi suaminya, maka ketahuilah bahwa suaminya pasti akan mati, tanpa diragukan lagi, jika tidak hari ini maka tentu esok hari. Dan siapa saja yang melakukan hijrah karena Allah, maka ketahuilah bahwa Allah akan tetap ada, hidup selamanya, dan Dia tidak akan mati. Karena itu tetap teguhlah, wahai saudariku, semoga Allah meneguhkan kita, dan tetaplah bertahan di Islamic State dengan segenap kekuatanmu.
Berbekallah dengan ketaatan dan ibadah agar menjadi penolongmu di dalam menghadapi musibah dan kesusahan, Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Yunus alaihis-salam; {Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit} [As-Shaffat: 143-144].
Ibnu al-Jauzi berkata; “Jumhur ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah; “Jika bukan lantaran apa yang dia lakukan dahulu sebelum ditelan oleh ikan paus dari bertasbih, maka tentulah dia akan berada di perut ikan itu hingga hari kiamat. Qatadah mengatkan; “Maka tentulah perut ikan itu menjadi kuburnya hingga hari kiamat, akan tetapi dia adalah orang yang banyak shalat ketika dalam keadaan mudah, sehingga Allah menyelamatkannya lantaran hal itu”. [Zadul-Masir].
Maymun ibn Mihran berkata; “Aku mendengar ad-Dahhak ibn Qays berkata; “Ingatlah Allah di saat lapang maka Allah akan mengingatmu di saat susah. Sesungguhnya Yunus adalah hamba Allah yang shalih, mengingat Allah, sehingga ketika dia berada di dalam perut paus, Allah berfirman; {Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit} [as-Saaffat: 143-144], sedangkan Firaun adalah hamba Allah yang melampau batas dan lupa untuk ingat kepada Allah, maka ketika {Sehingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” “Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan” [Yunus: 90-91]”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya].
Adapun engkau wahai ibunda para anak singa… apakah yang engkau ketahui tentang induk para singa? Dia adalah guru bagi generasi dan pencetak para ksatria. Aku beritahukan kepadamu apa yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam; “Setiap dari kalian adalah penggembala (pemimpin), dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dia gembalakan … dan wanita adalah penggembala di dalam rumahnya dan dia akan bertanggung jawab atas gembalaannya”. Maka sudahkah engkau memahaminya, Wahai ukthi muslimah, besarnya tanggung jawab yang engkau emban? Wahai ukhti fid-dien, aku melihat umat kita ini ibarat sebuah jasad yang terdiri dari banyak bagian, tetapi bagian yang paling penting dan paling efektif dalam membesarkan generasi adalah bagian ibu yang mendidik. Karena alasan itulah, engkau membutuhkan banyak kesabaran dan kebaikan dan juga ilmu bermanfaat yang mencukupi untuk membangun generasi yang sanggup untuk mengemban amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi dan gunung-gunung.
Engkau tahu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah, dan Allah telah memberkahi Islamic State, yang tidak kikir terhadap wanita dalam menyediakan lembaga dan program pendidikan pada seluruh ilmu syari’at. Maka singkirkanlah debu kemalasan dan menunda-nunda, dan majulah, bebaskan dirimu dari kebodohan dan pelajarilah urusan agamamu. Dan Daulah kita – semoga Allah memperkuatnya – tidak menginginkan pujian dan terimakasih dari kita, tidak juga dirham dan tidak pula Dinar, semoga Allah membalas mereka atas nama kami dan atas nama kaum Muslimin dengan balasan yang terbaik.
Ukhti muslimah, sesungguhnya engkau adalah mujahidah, dan apabila senjata kaum laki-laki adalah senapan serbu dan sabuk peledak, maka ketahuilah bahwa senjata wanita adalah akhlak mulia dan ilmu. Karena engkau akan memasuki kancah pertempuran antara yang haq dan yang bathil. Karena itulah, entah ini adalah mereka dengan generasi yang rusak dalam aqidah dan manhaj – maksudku adalah musuh-musuh dien ini – atau engkau dan generasi yang melihat kemuliaan ada pada lembaran-lembaran al-Quran dan moncong senjata. Karena hal inilah, mari jadikan semangatmu adalah semangat umat, sehingga engkau melihat dari mata seluruh anak-anak singamu seorang ulama yang berilmu dalam dan seorang penakluk hebat. Bercita-citalah kepada mereka seperti cita-cita Hindun binti Utbah radhiyallahu anha kepada putranya Mu’awiyah radhiyallahu anhu; “Ketika Abu Sufyan radhiyallahu anhu melihatnya sedang merangkak dan dia berkata kepada ibunya, ‘Sesungguhnya anakku ini memiliki kepala yang besar dan dia pantas untuk menjadi pemimpin kaumnya”. Maka Hindun berkata; “Hanya kaumnya? Sungguh malangnya aku jika dia tidak memimpin seluruh bangsa Arab!” [Al-Bidayah wan-Nihayah] maka Hindun pun meraih apa yang dia cita-citakan. Mu’awiyah menjadi pemimpin seluruh bangsa Arab dengan syariat. Wahai saudariku, jadikanlah seluruh anak-anakmu sebagaimana tiga anak Afra’: Mu’adz, Mu’awwadz, dan ‘Auf radhiyallahu anhum.
Dan alangkah agung apa yang dikatakan oleh Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu anhu, pada hari di mana Ibnu Umar radhiyallahu anhuma masuk menemuinya ketika putranya; Abdullah ibn Zubair radhiyallahu anhuma disalib setelah dibunuh oleh Hajjaj, maka dia berkata padanya; “Sesungguhnya jasad ini bukanlah apa-apa, namun ruh itu berada di sisi Allah, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Maka Asma’ menjawab; “Apalah yang menghalangiku untuk bersabar, sedangkan kepala Yahya ibn Zakariya telah dihadiahkan kepada salah satu pelacur Bani Israil”. [Al-Bidayah wan-Nihayah]. Allahu Akbar. Inilah wanita-wanita umat kita, para generasi Khansa pertama.
Wahai saudariku tercinta, sesungguhnya termasuk rahmat Allah kepadamu adalah Dia telah memuliakanmu untuk tinggal di tanah Khilafah. Maka gunakanlah itu sebagai kesempatan untuk mengajari anak-anakmu semampu yang engkau bisa tentang keshalihan yang dibangun di atas tauhid yang bersih, aqidah yang benar, kufur kepada thaghut dan beribadah kepada Allah semata, ajarilah kepada mereka tazkiyatun-nufus, mengingat Allah, sirah nabawiyah, dan fiqh jihad. Dan jika para pengklaim Islam di tanah kufur membesarkan anak-anak mereka dengan cerita Cinderella dan Robin Hood, maka engkau harus menggunakan cerita dalam “Masyari’ al-Asywaq ila Masari’ al-‘Usysyāq” Ibnu an-Nahhas rahimahullah sebagai cerita untuk anak-anak singamu sebelum mereka tidur. Dan di sini terdapat lembaga syari’ah, kamp pelatihan, dan bahkan taman kanak-kanak. Semua di Daulah kita, yang diberikan oleh mereka – semoga Allah mendukungnya – berada di atas metodologi kenabian, insya Allah, dan segala pujian hanya milik Allah.
Kemudian nasihatku kepadamu wahai saudariku, yang sedang mempersiapkan anak-anak singa khilafah, bekalilah mereka dengan ilmu lalu kemudian dengan senjata, karena senjata tanpa ilmu merupakan bahaya yang sangat besar dan jika itu terjadi maka sedikit sekali kebaikan dapat diperoleh. Jadilah engkau wahai saudariku yang mulia seperti Ibunda Ummu Sufyan Ats-Tsauri, seorang imam ahli hadits, faqih, hafizh, zahid, ‘abid dan wara’, di mana ibunya; Ummu Habibah, suatu ketika berkata kepadanya; “Wahai anakku, tuntutlah ilmu maka aku akan mencukupimu dengan alat pemintal ini.” Lihatlah kepadanya, semoga Allah merahmatinya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Rabb kita. Apa yang dia minta dari putranya tidak lebih agar dia menuntu ilmu syar’i dan menguasainya, dan sang ibu akan berusaha memenuhi kebutuhan putranya dan nafkahnya lewat tenunannya. Semoga Allah memberkahi dirinya dan putranya, yang mana Abu Ishaq As-Sabi’i suatu ketika melihat Imam Sufyan Ats-Tsauri yang sedang berjalan, Abu Ishaq membaca, {Dan Kami berikan hikmah kepadanya selagi dia masih kanak-kanak} [Maryam: 12].
Sebagai penutup, aku ingatkan diriku sendiri dan juga kalian, wahai saudariku yang mulia, untuk senantiasa memperbaiki niat dan menghadirkannya di dalam seluruh amalan kita, karena siapa yang amalnya karena Allah maka dia telah sukses dan menang, dan siapa yang amalnya untuk selain Allah maka dia telah kalah dan merugi, dan akhir dari doa kami adalah “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. Semoga shalawat dan salam atas pemimpin kita, Muhammad, dan juga atas keluarga dan shahabat seluruhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar